Menyelami Keluarga Habaib dan Mantri Guru, Novel Dua Dosen ITS
Peluncuran dua buku karya mantan dosen Institut Teknologi 10 November Surabaya (ITS) berlangsung di Creative Co–Working Space (CCWS) Perpustakaaan ITS Lantai 1 Jl. Raya ITS Sukolilo Surabaya, Sabtu, (7/1/2023) pagi. Yang menarik karya buku dua orang akademisi tersebut adalah buku sastra, jenis Novel.
Prof Sugimin WW, dosen Fisika, meluncurkan novel dokumenter berjudul ``Ndara Mantri Guru``, sedangkan Dra Lubna Algadrie, MA meluncurkan ``Form Sydney With Love``. Peluncuran buku tersebut digelar oleh Penerbit PT Pendar Asa Komunika.
Buku novel Ndara Mantri Guru dengan tebal 350 halaman ini disunting oleh sastrawan dan wartawan senior Imung Mulyanto serta diterbitkan oleh PT Pendar Asa Komunika.
Buku ini merupakan kisah inspiratif tentang lika-liku anak ndesa level bocah angon yang sukses menerobos sekat strata sosial melalui jalur pendidikan. Meski sang tokoh “aku” kelihatanya bercerita tentang diri pribadi, tetapi secara tidak langsung juga terbawa setting kondisi sosial ekonomi saat itu: era kolonial Belanda, zaman Jepang, hingga masa kemerdekaan.
Tergambar bagaimana kehidupan sekolah rakyat yang diwulang ndara mantri guru, atau keluarga sugih yang jatuh miskin karena disatroni kecu dan grayak (perampok). Tentang cara hidup anak kaum abangan yang gemar puasa patigeni, rajin mengaji tetapi tidak sembahyang. Falsafah melik nggendhong lali, susah payah mencari Tuhan, hingga mahasiswa yang dipaksa melamar teman wanitanya gara-gara surat cinta yang dikirim diam-diam ketahuan calon mertuanya (yang tokoh ormas keagamaan).
Buku novel itu diselesaikan dalam waktu 42 hari tanpa putus, sampai jadi, “Saya heran. Tidak menyangka bisa jadi buku novel seperti itu. Pokoknya waktu itu saya mengetik saja. Sambil nunggui istri yang sakit, saya menulis tiap hari`` kenang Fisikawan Senior ini.
Mengangkat Budaya Habaib
Sementara karya Dra Lubna Algadrie MA berjudul “From Sydney With Love” meski fiksi tapi alur cerita, konflik yang terjadi di antara para tokohnya, dibangun atas dasar pengalaman hidup penulisnya yang juga dosen ITS. Sebelumnya dosen bahasa Inggris ITS tersebut memang mengambil beasiswa S-2 di Sydney, Australia. Dia pun menyelesaikan master of arts di University of Sydney, Australia. Buku ini merupakan karya kedua dari Lubna setelah bukunya yang berjudul A Long Journey of A Single Parent Teacher.
Novel ini menarik karena mengangkat tema yang tidak mainstream. Mulai judulnya “From Sydney with Love (Syarifah What Is Bothering You)” sudah membuat pembaca penasaran. Mengutip dari adrionomatabaru.blogspot.com, masih belum banyak kisah fiksi yang mengangkat budaya dan kehidupan keluarga Arab habaib di negeri ini. Maka, melalui novel buah karya Lubna Algadrie ini kita bisa sedikit mengintipnya dan mendapatkan tambahan cakrawala pengetahuan. Kabarnya, novel ini sedang diminati seorang produser, jadi ada kemungkinan bakal diangkat menjadi film layar lebar.
Seperti diketahui, sebagian besar ulama pria Arab yang datang ke Nusantara bergelar sayid atau syarief, atau syarifah dan sayidah untuk yang perempuan. Gelar syarief/syarifah disematkan bagi keturunan Nabi Muhammad SAW dari jalur Sayidina Hasan. Sedang sayid/syayidah dari jalur Sayidina Husin bin Abi Talib yang menikah Siti Fatima, putri Rasulullah.
Sebagian besar dari mereka masih berpendirian bahwa menjaga pertalian keluarga berdasar hubungan darah (nasab) merupakan kewajiban. Seorang syarifah seharusnya bersanding dengan seorang sayid. Ini pasangan yang sepadan, se’kufu’, supaya martabat keluarga sebagai habaib terpelihara. Jika melanggar, perempuan syarifah harus rela melepas nasabnya, tidak berhak lagi menyandang gelar marga di belakang nama putra-putri yang dilahirkannya.
Sikap keluarga habaib ini tergambar dalam tokoh Aba, yang senantiasa berpesan kepada putri sulungnya, Syarifah Fatima (Iffah). “Jagalah marga kita sebagai keturunan Rasulullah,” kata Aba. Demikian juga dengan Umi yang menggariskan pesan tegas, “Jangan lupa kamu seorang syarifah. Kamu harus menikah dengan seorang sayid atau syarif. Kalau tidak, apa nanti kata keluarga besar kita?” (hlm 10).
Maka Iffah, tokoh sentral dalam novel ini, menjalani hidup dalam lingkaran-lingkaran labirin yang tidak dikehendaki sekaligus sulit dihindari. Dia kadang merasa terlalu banyak dibatasi oleh aturan-aturan yang hampir sulit dicerna. Cinta pertamanya bersama Kapten Hermana pun kandas. Bahkan kemudian Iffah jadi gamang untuk memaknai apa itu cinta.
“Setiap aku menyukai seseorang ada saja penghalang yang memangkas tunas yang akan tumbuh. Cintaku tidak pernah tumbuh dengan baik. Aku jadi terbiasa belajar melupakan orang-orang yang aku sukai, karena Aba selalu mengatakan: simpan cintamu untuk seorang sayid,” katanya (hlm 63).
Meski berada dalam kungkungan budaya yang ketat, Iffah masih memiliki banyak relasi pertemanan, karena lingkung pergaulan yang luas. Salah satunya adalah David, teman sekelasnya di kampus Sydney. Karena sering berkegiatan bersama, tumbuhlah bibit-bibit suka di antara keduanya. David yang serius ingin meminang jadi bingung dengan sikap pujaan hatinya –yang menurutnya– very mysterious dan sulit dimengerti.
David kemudian menjadi mualaf dan mengubah nama menjadi Daffah. Tapi dia berharap Iffah tetap memanggilnya dengan sebutan David, Kenapa? Dia bilang, lafal Iffah jika menyebut namanya persis seperti mamanya memanggil dia. “Dia juga sudah sunat, lho, ” bisik Mbak Salam kepada Iffah. Masak?
Penulis Lubna Algadrie cukup cerdik dalam membina klimaks cerita. Pada setiap bab demi bab, dirinya memasukkan selapis demi selapis problem dan konflik baru sehingga pembaca menjadi kepo untuk terus mengikuti cerita hingga tamat. Gaya dan bahasa ungkapnya terasa cepat, efisien, dan khas. Ibarat musik mungkin bertempo staccato.
Tetapi dia tetap tidak abai dengan detail-detail saat menggambarkan latar belakang lokasi cerita. Dideskripsikan tentang tanaman jakaranda di sudut Quadrangle saat berbunga. Pohonnya nyaris tanpa daun, penuh dengan bunga warna ungu yang cantik sekali. Masuknya sejumlah percakapan keseharian dalam bahasa Inggris membuat dialog menjadi terasa nyata.
Boleh jadi ini karena sang penulis adalah pakar languistik, dosen bahasa inggris, dan pernah menjadi Kepala Pusat Bahasa ITS, sebelum pensiun dulu. Seringnya belajar di luar negeri kiranya juga turut mewarnai cara bertuturnya, yang tidak lagi seperti lazimnya warga Indonesia.