Menyelamatkan Seorang Politikus, Kok Lucu...
Di panggung politik, banyak orang berusaha bisa menyampaikan aspirasi politiknya. Apalagi soal karakter masyarakat Indonesia secara umum, yang memiliki tingkat toleransi yang sangat autentik. Kesadaran akan keberagaman dan hidup saling menghormati, merawat toleransi antar-sesama sangat tinggi. Akan tetapi, toleransi yang sudah baik tersebut belakangan rusak karena perilaku elite politik.
Terkait perilaku elit politik, kini masih menyisakan lelucon-lelucon yang segar. Seperti kasus ini.
Tiga orang anak laki-laki berjalan melewati hutan dan tiba-tiba mendengar jeritan minta tolong.
Mereka mengikuti suara ke danau dan melihat seorang pejabat yang menjadi tersangka korupsi tenggelam.
Anak-anak itu melompat ke dalam air dan membawanya ke tepian. Pejabat bertanya kepada anak-anak itu bagaimana dia bisa membayar mereka.
Anak laki-laki pertama berkata, "Saya ingin HP baru."
Anak laki-laki kedua berkata, "Saya ingin sepeda motor."
Anak ketiga berkata, "Saya ingin batu nisan yang bagus."
Pejabat itu kaget, lalu bertanya, "Mengapa demikian?"
Anak itu berkata, "Karena ketika ayah saya tahu saya membantu menyelamatkan Anda, dia akan membunuh saya."
Ha ha ha...
Demikianlah, laku politik kita belakangan ini masuk pada level yang cukup pantas untuk selalu dikritisi. Masyarakat awam dan yang berpikir waras, yang merawat nalar sehat. Mengingat, bila mereka dibiarkan akan cenderung destruktif dan merusak sendi-sendi rekatan kuat sosial antarkelompok, etnis dan Agama.
Laku politik rente yang menghalalkan segala cara dan mengabaikan kepentingan bersama, telah merusak rekatan sosial di masyarakat. Politisi menghalalkan segala cara untuk menang dan berkuasa. Makna toleransi dimonopoli sesuka dan sesuai selera kepentingan politik.
"Toleransi dijadikan alat politik, orang yang berbeda dan tidak setuju dan berbeda sikap politik distigmatisasi menjadi kelompok intoleran, demikian sebaliknya. Ada sebagian yang juga menggunakan agama sebagai alat politik bukan justru meninggikan etika," keluh seorang remaja.
Elite politik diajak untuk berhenti memanfaatkan toleransi menjadi alat politik. Toleransi harus bersifat autentik, melahirkan dialog dan saling hormat menghormati secara tulus, bukan basa-basi politik. Para elite seharusnya meninggikan akhlak politik atau etika politik, bukan menghalalkan segala cara untuk menegasikan lawan politik.
"Politik yang menghalalkan segala cara melahirkan prilaku politisi yang minus etika dan akhlak. Menghadirkan Agama sebagai solusi bagi kehidupan sosial dan politik, sebagai perekat sosial bagi kehidupan berbangsa dan bernegara," demikian remaja itu akhirnya berpetuah.