Politik Cukong, Corak Baru Demokrasi Kita?
Tahun 1998 memang telah terbenam sudah. Terbenam bersama hilangnya spirit heroisme yang bertekad; menjebol tertib politik otoritarian menuju kebebasan dan demokrasi. Hari-hari ini serasa tidak ada lagi bekas mimpi heroisme itu, karena jasad-jasad reformasi itu pun telah tumbang bersama keserakahan dan kebodohan jenis mutakhir yang minus malu.
Lalu, lahirlah kehidupan politik tanpa malu. Betul-betul tanpa rasa malu! Padahal 'rasa malu' dalam pandangan agama adalah sesuatu yang fundamental dalam kehidupan. Sehingga Muhammad Rasulullah sekian abad silam mengingatkan dengan sangat intensif tentang pentingnya rasa malu. Rasa malu menjadi postulat kehidupan yang sangat penting karena malu itu adalah bagian integral dari iman seseorang (al-hayaau minal iman).
Bagaimana jadinya jika kehidupan politik itu sendiri berjalan tanpa rasa malu? Disinilah justru tragedinya. Praktik kehidupan politik akan bergerak seperti layaknya hutan rimba yang tak mengenal norma-norma kemanusiaan. Sejak reformasi bergulir, rasa-rasanya kehidupan politik kita sangat menyesakkan dada manusia normal.
Mari kita lihat misalnya perjalanan karir politik para politisi kita selama 20 tahun reformasi. Para Menteri, Gubernur, Bupati, Walikota kita di seluruh Indonesia. Menyedihkan bukan?
Pada awalnya mereka semua berkhikmad untuk menjadikan dirinya sebagai pelayan rakyat. Mereka ingin memberikan seluruh waktunya untuk menolong manusia tidak beruntung, miskin papa, bodoh, yang hidup senin kamis, merasa tak berguna untuk kembali menemukan hidupnya yang layak.
Mereka semua ingin naik kelas menjadi manusia yang bermartabat lebih tinggi dari orang kebanyakan. Tapi apa faktanya? Menurut catatan para pegiat Demokrasi dan Anti Korupsi, dua pertiga lebih dari mereka terjerat aksi korupsi dan perampokan atas nama negara. Bahkan ada beberapa menteri Agama yang harus terlibat korupsi.
Lalu dimana kini tempat mereka? Masih di kursi empuk kekuasaankah? Tidak. Tidak! Mereka kini mendekam dalam tempat yang tidak terhormat; penjara. Walau penjara mereka ini berbeda dengan penjara para maling ayam, pencuri sepeda motor, atau bahkan penjahat lainnya. Tapi penjara tetaplah penjara, suatu tempat untuk menghukum manusia yang bertindak melampaui batasnya.
Dalam sejarah pertarungan ideologi kekuasaan, penjara bukan hanya tempat orang bersalah dan terhina, namun juga bisa menjadi tempat orang-orang idealis yang berselisih pandangan dengan penguasa. Pada yang demikian itu, penjara bukan lagi tempat terhina, namun tempat berlatih para pemimpin besar kelas dunia.
Tokoh-tokoh besar politik kerap lahir justru dari dalam penjara. Sebut saja Mahatma Gandhi, Martin Luther King, Nelson Mandela, Benazir Butto, Fidel Castro, hingga Soekarno dan Tan Malaka.
Pertanyaannya, apakah itu tujuan mereka berpolitik? Tentu saja tidak pada awalnya. Tapi mengapa dua pertiga lebih para petinggi negara kita itu melakukan tindakan merampok uang negara? Apakah politik kita biarkan begitu rupa sehingga kehidupan suatu bangsa makin miskin dari cita-cita profetiknya?
Apakah kondisi politik kita biarkan dihuni oleh kaum perusak masa depan peradaban bangsa itu sendiri. Pikiran sehat manusia menyatakan tidak. Sebab politik dimata kaum idealis adalah ladang amal sholeh yang apabila dikerjakan dengan benar pahalanya sangatlah besar.
Politik sebagaimana dipahami Aristoteles diakui sebagai usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama. Namun kadangkala untuk meraihnya dibutuhkan seni dan ilmu. Sebab kekuasaan itu bisa ditempuh dengan aneka jalan, bisa secara konstitusional maupun nonkonstitusional.
Namun demokrasi menghendaki cara yang beradab dalam meraih kekuasaan. Demokrasi berusaha menyediakan metodologi kekuasaan yang manusiawi, dengan harapan ketika kelak kekuasaan ditangan seseorang akan bergerak efektif menegakkan keadilan sosial untuk menjamin tegaknya kesejahteraan sosial.
Masih adakah harapan untuk memperbaiki kondisi politik kita yang menyesakkan dada ini? Bung Hatta, sang proklamator kemerdekaan kita pernah mencerahkan kita semua. Menurut Bung Hatta, kapitalisme yang datang ke Indonesia, yang sering bertindak sebagai penyerang, perampas, penguasa politik, tidak menghancurkan organisasi feodalisme yang ada, tetapi mempergunakannya sebagai alat untuk menguasai tenaga produksi dalam masyarakat seluruhnya (Bung Hatta, politik, kebangsaan, ekonomi, hal.246).
Bagaimana cara memahami pikiran Bung Hatta ini kaitannya dengan keadaan politik kita saat ini?
Begini, kondisi politik kita saat ini sesungguhnya telah masuk dalam jebakan kapitalisme. Kaum kapitalis itu adalah penguasa sejati dari keadaan politik kita saat ini. Politik kita tak ubahnya rumah kardus yang mudah diatur atas dasar selera mereka tanpa memperhatikan prinsip-prinsip keadilan sosial. Mereka bekerja atas dasar konstitusionalitas yang palsu.
Rumah kardus politik kita itu tidak saja mudah diatur, namun juga mudah rusak terkoyak karena terbuat dari bahan yang tipis, mudah hancur diterpa tetes air hujan sekalipun. Itulah rumah politik kita hari ini. Sedangkan organisasi feodalisme yang ada mereka pergunakan sebagai alat untuk menguasai tenaga produksi dalam masyarakat secara keseluruhan.
Apa yang di maksud Bung Hatta dengan organisasi feodalisme itu? Hemat saya Bung Hatta menunjuk pada organisasi yang bisa bekerja sama dengan kaum kapitalis atas dasar pemberian upah atau iming-iming tertentu. Lalu organisasi feodal itu melakukan pembelaan yang over dosis atas segala tindakan kaum kapitalis itu.
Lihatlah misalnya, pembelaan suatu ormas besar yang membabi buta selama Pilpres 2019 lalu. Lalu apa ending dari semua itu? Mereka berakhir dengan rasa kecewa karena iming-iming itu tidak sepenuhnya diselesaikan secara adat. Bung Hatta seolah hendak bicara penting bahwa organisasi feodal itu bisa berpotensi merusak kejernihan kita dalam berjuang membangun bangsa dan negara.
Organisasi feodal yang disebut Bung Hatta sejatinya bisa muncul dalam aneka bentuk. Bisa juga berbentuk organisasi pemuda, lembaga survei, organisasi pemerintahan, organisasi profesi, pemimpin kaum buruh, atau organisasi kaum intelektual yang bisa mereka gunakan untuk menguasai alat-alat produksi dalam masyarakat secara keseluruhan.
Itulah gambaran kehidupan politik dalam genggaman kapitalisme. Dodi Ambardi, seorang dosen di Universitas Gajah Mada melukiskan kehidupan politik seperti ini dengan model politik kartel. Saya sendiri menjulukinya dengan politik kaum cukong; memberi makan, mempengaruhi, memperalatnya, lalu menipunya.
Mereka sesungguhnya sekelompok iblis yang menyelinap dalam demokrasi liberal. Oleh karena itu, para kaum cendekia hendaknya segera sadar, bangkit, dan bergerak bersama dengan penuh kesadaran bahwa sesungguhnya kita hidup dalam jebakan politik yang melumpuhkan kekuatan bangsa. Kita hidup dalam suasana paralisis yang akut.
Dalam suasana yang seperti itu, saya hanya percaya pada kata-kata Wiji Tukul, hanya satu kata, Lawan.
Atau pada WS Rendra yang berucap," Luka-luka di dalam lembaga,
intaian keangkuhan kekerdilan jiwa, Aku berontak dengan memandang cakrawala"
Bagaimana dengan anda?
*) Fathorrahman Fadli adalah Direktur Eksekutif Indonesia Development Research (IDR)