Menurut KPK, Setya Novanto Terus Berkelit
Setya Novanto tidak akomodatif. Menurut KPK, terdakwa perkara korupsi proyek pengadaan KTP elektronik (KTP-e) Setya Novanto masih berkelit selama proses persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta.
"Sejauh ini yang kami lihat terdakwa justru masih berkelit dan mengatakan tidak ada penerimaan-penerimaan termasuk juga penerimaan jam tangan. Padahal, sejumlah saksi sudah mengatakan demikian," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, hari Jumat 26 Januari 2018.
Hal tersebut dikatakannya sebagai respons atas pengajuan Setya Novanto menjadi "juctice collaborator" (JC) kepada KPK.
"Ini juga akan jadi pertimbangan hakim, sejauh mana kemudian terdakwa memang secara serius ingin menjadi JC karena status JC tidak bisa diberikan sembarangan. Memang harus sangat hati-hati untuk memberi status JC," ucap Febri.
Namun, Febri menyatakan bahwa belum terlambat jika mantan Ketua DPR RI itu mau membuka pihak-pihak lain atau mengetahui ada aktor lebih besar dalam perkara korupsi KTP-e.
"Kalau memang terdakwa mengetahui ada aktor lebih besar untuk membuktikan yang bersangkutan bukan aktor utama, misalnya, itu silakan saja di buka. Dalam proses hukum tentu kami kroscek dan kami klarifikasi lebih lanjut," ungkap Febri.
Untuk diketahui bahwa seseorang yang mengajukan JC bukan lah pelaku utama dari kasus tersebut.
Indikator selanjutnya untuk memberikan status JC bahwa terdakwa mengakui perbuatannya terlebih dahulu.
Novanto didakwa mendapat keuntungan 7,3 juta dolar AS dan jam tangan Richard Mille senilai 135 ribu dolar AS dari proyek KTP-e.
Dalam perkara ini, Novanto didakwakan pasal 2 ayat (1) atau pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar. (ant)