Menuntut Yang Tak Ada, Mungkinkah?
Hasil Pemilu Pilpres 2019, membelah perasaan rakyat menjadi dua. Rakyat pendukung Jokowi, merasa tidak ada yang salah dengan Pemilu-Pilpres kali ini. Semua berjalan lancar dan membanggakan. Hingga detik penghitungan suara dimulai dengan pemunculan hasil penghitungan versi quick count, keadaan relatif berjalan lancar. Tidak ada bentrok massa dan kerusuhan yang berarti. Semua tenang merasa aman karena pemilu berjalan lancar dan damai.
Bahkan sejumlah pengamat, memberikan penilaian Pemilu 2019 layak dinyatakan sebagai pemilu demokratis yang membanggakan. Masyarakat dunia memberi acungan jempol atas terselenggaranya Pemilu-Pilpres yang lancar dan damai yang berjalan tanpa ada kerusuhan dan bentrok massa yang berarti.
Sementara pemilu damai ini diselenggarakan di sebuah negara yang rakyatnya terdiri dari ratusan suku dari sekian pulau berpenduduk padat dengan pemeluk agama-kepercayaan yang berbeda-beda.
Keadaan berbalik menjadi galau dan meresahkan, setelah pemilu memasuki tahapan hari pemungutan suara, tanggal 17 April 2019. Pasca rakyat Indonesia menentukan suara pilihannya di 800.000 lebih Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang tersebar di seluruh pelosok Tanahair, barulah terbangun keresahan yang merebak dengan cepat.
Berawal dari hasil hitungan cepat (quick count), perolehan suara dari dua kubu (01-02) yang menunjukan hasil tak seimbang. Kubu Jokowi (01) rata-rata meraup perolehan suara dengan angka persentase yang cukup meyakinkan melebihi perolehan suara kubu 02 (Prabowo-Sandi). Semua institusi penyelenggara quick count memberikan perolehan suara dengan selisih mencapai dua digit untuk kemenangan pasangan Jokowi-Ma’ruf.
Sangat manusiawi bila kemudian para pendukung kubu Prabowo-Sandi yang hingga hari H (pencoblosan) masih sangat yakin akan memenangkan kontestasi Pemilu-Pilpres kali ini, merasa terpukul dan kecewa berat. Maka pernyataan sikap yang menilai bahwa hasil hitungan cepat merupakan bagian dari strategi pemenangan kubu 01 yang penuh kecurangan, disuarakan secara lantang.
Dari Posko pemenangan kubu 02 di Kartanegara, Kebayoran Baru, dikumandangkan suara perlawanan yang tidak mengakui hasil perhitungan cepat. Bahkan Prabowo sempat memproklamirkan diri sebagai Presiden terpilih versi kubu 02.
Protes ini dilakukan karena pemilu yang dinyatakan penuh akan kecurangan terstruktur dan masif, tidak memenuhi persyaratan sebagai pemilu yang bebas, langsung, jujur dan adil. Puncak kekecewaan terjadi pada 21-22 Mei di mana kerusuhan massal telah melumpuhkan Ibukota selama hampir 3 hari penuh.
Korban nyawa pun berjatuhan. Amok massa mereda setelah kubu prabowo Sandi resmi menyatakan akan melayangkan gugatan kepada KPU secara konstitusional melalui Mahkamah Konstitusi (MK). Dengan kata lain, kubu Prabowo menuju Mahkamah Konstitusi dengan tema besarnya: MENUNTUT KEADILAN! Tema pengantarnya adalah tuntutan akan keterbukaan dan kejujuran.
Hal inilah yang membuat saya tertunduk merenung. Ada perasaan haru dan rasa hormat yang begitu membaur dengan rasa sedih dan prihatin yang mendalam. Pasalnya, karena Prabowo dan Sandi telah melangkah untuk mencari sesuatu yang justru telah lama hilang.
Dihilangkan oleh pilihan sistem penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara yang merembet dan membuahkan hasil sebuah penyelenggaraan pemilu yang memiliki karakter dan wajah yang sama.
Seperti kita ketahui bersama, masalah keadilan dan kejujuran merupakan sesuatu yang justru sangat dirindukan kehadirannya selama berpuluh tahun oleh rakyat kebanyakan di negeri ini. Jokowi yang dengan kekuasaannya telah berusaha sangat keras berjuang menghadirkan impian rakyat tersebut; harus rela menerima lembaran rapot yang dipenuhi daftar nama para koruptor dan sejumlah praktik kejahatan terhadap negara.
Dengan kata lain, KEADILAN dan KEJUJURAN yang diharap akan melahirkan penyelenggaraan pemerintahan yang jujur, bersih, dan adil (Clean Goverment dan Good Governance) masih merupakan wacana dan bahkan sebuah utopia yang menyakitkan. Menyangkut pertanyaan; siapa sih yang bisa bersih dan tidak curang? Benarkah masih ada yang terbuka, jujur, dan adil?
Pertanyaan ini bukan hanya ditujukan kepada kedua Paslon Capres-Cawapres kubu 01-02, tapi justru diberlakukan pada setiap lembaga dan individu penyelenggara negara termasuk dalam kaitan pemilu.
Bagaimana bisa jujur ketika kita semua telah membohongi diri kita sendiri sebagai bangsa yang konon beradab. Di satu sisi kita lantang berteriak-teriak tentang kesetiaan dan keharusan untuk tunduk pada amanat Pancasila dan UUD’45 (versi asli).
Di sisi lain, kita berjamaah melegalisir Liberalisme sebagai pijakan dalam membangun sistem politik negara Pancasila. Dalam penyelenggaraan pemilu, lebih dahsyat lagi. Dipilih sebagai pijakan untuk membangun seluruh aturan main dan etika penyelenggaraan pemilu yang berangkat dari nilai-nilai (Hyper) Liberalisme yang super kebablasan!
Bagaimana ada keterbukaan, ketika membuka perilaku diri yang menyimpang akan berakhir dengan mengundang musibah bagi dirinya.
Beruntung Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai cara membuka ketertutupan kinerja yang korup dan sarat perilaku yang menyimpang. Sebelum ketahuan dan tertangkap basah, dari atas sampai bawah tetap asyik berkolaborasi melakukan ‘Korupsi Berjamaah’. Dalam situasi dan kondisi mental korup yang parah ini, jangan pernah berharap keadilan akan dapat ditegakan.
Rasanya apa yang saya ungkapkan merupakan persoalan dasar yang dapat dibaca pada lembaran pertama dari buku pintar ‘membangun masyarakat Pancasila yang sehat dan benar’! Sehingga dalam menanggapi kasus gugatan Kubu 02 menyoal hasil Pemilu-Pilpres 2019, bagi saya merupakan langkah baik-baik saja walau hanya sebatas langkah politik praktis yang parsial dan tidak menyelesaikan masalah secara menyeluruh. Karena seluruh gerak penuntutan yang dilakukan Prabowo cs, saya nilai hanya sebagai langkah yang masih berada dalam ruang yang sepenuhnya menyoal ‘akibat’, bukan ‘penyebab’!
Siapa pun yang akan memenangkan persidangan di MK kelak, kita masih akan mengalami hal yang sama walau tak serupa pada pemilu berikutnya. Selama ketidak jujuran, keterbukaan, dan keadilan tidak dimanifestasikan secara nyata dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara; selama itu pula kita akan terus begini.
Intinya, selama Pancasila tidak diperlakukan secara jujur dan terbuka --yang atas nama keadilan memberlakukan amanat pembukaan UUD’45 dalam kehidupan kita sebagai bangsa, maka selama itu pula kita akan lemah dan tak mempunyai kepastian pijakan membangun sebuah bengsa yang besar dan kuat!
Dengan kata lain, ketika bangsa ini tidak dibangun berdasarkan NATUR dan KULTUR nya sendiri, kita seperti tengah membangun sebuah bangunan bertingkat di atas gundukan pasir. Sehingga ketika badai datang, semua akan porak poranda dan bahkan sirna menghilang tanpa bekas, kecuali cerita indah tentang Indonesia ‘tempo doeloe’.
Sebelum sangat terlambat, maka jujur dan terbukalah untuk mengakui bahwa kita tengah berjalan di track yang salah. Tentunya dalam kaitan membangun peradaban kehidupan berbangsa dan bernegara sebagaimana yang diamanatkan oleh pembukaan UUD’45.
Inilah yang saya nyatakan sebagai kejujuran dan keterbukaan yang mendasar dan substansial. Selebihnya, tidak lebih hanya merupakan bitter comedy (komedi pahit) dan pembodohan yang berkelanjutan.
*) Eros Djarot - dikutip utuh dari laman watyutink.com