Menunggu Wali Kota Manasi Mesin Kesenian di Surabaya
Hari Selasa lalu secara on air saya ditanya oleh kawan Isa Anshori dari radio Suara Surabaya. Apa tanggapan saya tentang pernyataan Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi yang akan kembali menghidupkan kesenian di Surabaya, dengan istilah yang disebutnya akan memanasi mesin kesenian di Surabaya.
Saya tentu mengapresiasi niat wali kota itu. Dengan sebutan memanasi mesin, itu berarti pertama, ada kesadaran bahwa selama ini memang mesin kesenian di Surabaya mati. Karena itu akan dihidupkan kembali. Kedua, ada harapan bahwa kesenian di Surabaya akan kembali mendapat perhatian.
Apa yang disampaikan Wali Kota Surabaya adalah angin segar bagi masyarakat kesenian di Surabaya. Memang, bertahun sebelum pandemi Covid-19 pun kesenian di Surabaya nyaris tidak berkembang, untuk tidak mengatakan berhenti sama sekali. Kalaupun ada kegiatan seni, sifatnya sporadis saja dan tanpa inovasi. Apalagi setelah kita dihajar pandemi sejak awal 2020, maka kegiatan kesenian benar-benar berhenti.
Karena itu sudah dapat dipastikan niat wali kota itu akan disambut dengan sorak sorai oleh berbagai kelompok kesenian yang ada di Surabaya. Kelompok kesenian itu bukan saja dari komunitas ludruk dan seni tradisional lainnya, tetapi juga dari komunitas seni modern seperti teater, seni rupa, para koreografer, musik, para sastrawan, para pegiat sinematografi dan komunitas-komunitas seni lainnya.
Mereka tanpa saling berkoordinasi akan mencari sekaligus memperebutkan akses untuk dapat bertemu dengan wali kota. Wajar, dan tidak salah, karena memang seperti itulah kondisi sosial yang ada di tengah masyarakat kita. Baik di daerah maupun di pusat; akses pada pembuat kebijakan menjadi bagian dari suatu kesuksesan.
Berbagai komunitas seni di Surabaya, saya bayangkan, akan adu cepat menyerahkan proposal kepada wali kota. Dan kalau ini yang terjadi, maka setumpuk atau dua tumpuk proposal akan ada di mejanya. Apa yang dikatakan wali kota oleh para seniman dianggap sebagai suatu tantangan, karena itu harus segera direspon secara positif.
Kesenian bukan hanya ludruk dan wayang orang. Tapi kesenian juga bukan hanya seni rupa dan film. Demikian juga kesenian bukan hanya seni pertunjukan. Semua cabang seni itu berhak hidup dan dihidupi. Tetapi sudah lebih dari dua tahun semua seni itu mati. Ketika ada setitik harapan, maka para pegiat dari semua cabang kesenian itu, di Surabaya, merasa bergairah lagi.
Apakah wali kota akan membaca dan menyeleksi semua proposal yang menumpuk di mejanya, lantas mengeksekusinya, entah dengan memo berupa persetujuan atau penolakan? Tentu saja tidak. Ada mekanisme administratif yang harus dilalui, sekalipun oleh wali kota.
Akan ‘babak belur’ wali kota kalau mengakomodasi semua proposal atau usulan para seniman. Karena masing-masing seniman beranggapan hanya proposal yang diajukannyalah yang paling layak direalisasikan. Kalau di meja kerja wali kota ada dua tumpuk proposal, berarti ada pula dua tumpuk ego-ego yang masing-masing merasa diri paling penting untuk diperhatikan. Tapi gak usah heran, memang begitulah seniman.
Menurut saya, kalau wali kota bermaksud menyalakan mesin kesenian, sebenarnya kunci kontaknya sudah dibuatkan, yaitu Dewan Kesenian Surabaya (DKS). Lembaga yang pada tanggal 30 September mendatang genap berusia setengah abad ini memiliki fungsi yang strategis dan sangat dibutuhkan, yaitu sebagai mitra kerja Wali Kota Surabaya untuk merumuskan kebijakan guna mendukung kegiatan dan pengembangan kesenian di wilayah Kota Surabaya.
DKS memiliki struktur dan perangkat untuk mengembangkan hampir semua bidang kesenian melalui komite yang dimiliki, yaitu komite seni rupa, seni sastra, seni tari, seni teater, seni musik, komite film, dan komite lain sesuai kebutuhan. Karena itu DKS seharusnya merasa kena tunjek oleh cetusan Pak Wali yang akan memanasi mesin kesenian di Surabaya.
Pertanyaannya, emangnya DKS masih ada? (m. anis)
Advertisement