Menunggu Potensi Mangga Oransbari Moncer Setelah Ada Trans Papua
Tiga kali ngopibareng.id sempat singgah ke Warung Makan Aulia di Distrik Oransbari Kabupaten Manokwari Selatan. Masakan khas Jawa yang disuguhkan ternyata cocok di lidah setelah sekian lama meninggalkan Surabaya.
Satu masakan favorit adalah ikan merah kuah asam. Tetapi bukan masakan yang jadi fokus kali ini. Penglihatan saya justru tertuju pada tumpukan mangga, buah khas daerah tropis yang terjejer rapi di atas meja.
Tidak dijual! Itu kata yang tercetus dari Mbak Tina si empunya warung. Namun keakraban dengan tim dari Balai Pelaksanaan Jalan nasional (BPJN) XVII Manokwari yang terbangun sejak pengerjaan Trans Papua dimulai, menjadi celah membawa dua bungkus besar mangga oransbari sebagai oleh-oleh untuk keluarga. Ternyata pamor komoditi Oransbari ini sudah terkenal hingga ke Manokwari.
Dulu, karena keterbatasan akses darat dan melimpahnya hasil panen ketika musim tiba, harga mangga oransbari sampai kalah mahal dengan sekarung rumput untuk pakan ternak.
“Saat musim mangga, dulu sekarung paling mahal Rp 100 ribu isinya ratusan kalau kita mau beli. Itu masih ditambah makan di tempat sepuasnya,” kisah Muchlis Mahmud, Koordinator Pengawas Lapangan (Korwaslap) PPK IV.01 Satker PJN IV Wilayah Papua Barat (Bintuni).
Mangga Oransbari mirip dengan jenis gadung atau golek kalau di Jawa. Bentuknya besar dan memanjang dengan daging buah berwarna oranye cerah. Rasanya, dominan manis legit dengan sedikit asam. Itu yang saya dapatkan ketika merasakan mangga oransbari. Kian ramainya mobilitas masyarakat di sepanjang Trans Papua di Provinsi Papua Barat, membuat pamor mangga ini kian terkenal dan dicari orang untuk oleh-oleh.
“Kalau dulu, musim panen memang bingung mau dikemanakan. Paling ya dimakan sendiri. Kan di Oransbari hampir setiap rumah punya pohon mangga. Tetapi setelah jalan di depan (Trans Papua) mulai ramai, ada beberapa orang yang berhenti untuk sekedar membeli murah. Kini biasanya dikirim ke Manokwari atau kota-kota lain di Papua. Rasanya memang manis dan lebih besar dari mangga serupa di Jawa,” beber Mbak Tina dengan logat Jawa yang masih kental.
Distrik Oransbari bisa disebut sebagai wilayah transmigrasi tertua di Papua Barat. Hal ini terlihat dari keberadaan oang Jawa di sini yang rata-rata sudah masuk ke keturunan ketiga.
Menariknya, mereka berbaur dengan masyarakat asli sehingga nyaris tidak ada kisah gejolak yang terjadi. Bahkan di banding distrik lain di Kabupaten Manokwari Selatan (Mansel), dinamika masyarakatnya terbilang lebih maju.
Hanya sedikit kalah riuh dengan Ransiki yang jadi ibukota kabupaten. Kemajuan itu kian terlihat setelah Trans Papua mulai tersambung dengan beberapa kabupaten yang terletak di sisi selatan wilayah kepala burung.
Perkembangan ini pun harus diperhatikan pemerintah setempat, bahwa selain lokasi wisata ada komoditas seperti mangga oransbari yang bisa dimaksimalkan untuk menambah pendapatan asli daerah (PAD). (gem)