Menunggu Gercepnya Para Menteri
Presiden Joko Widodo telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) dan Peraturan Pemerintah (PP). Keduanya sebagai respon dalam menangani pandemi Covid-19 alias wabah Corona.
Perpu sebagai payung hukum atas kebijakanrealokasi anggaran sekaligus perubahan devisit anggaran yang telah diputuskan melalui UU APBN. Sedang PP untuk payung hukum penanganan wabah itu secara teknis di lapangan.
Presiden telah memilih cara atau respon terhadap Darurat Kesehatan. Berdasarkan UU Kekarantinaan Kesehatan, ia telah memilih cara Pembatasan Sosial Berskala Besar. Bukan cara Karantina, apalagi Karantina Wilayah.
Saya tidak tahu persis suasana kebatinan Presiden saat menentukan pilihan tersebut. Apakah telah melalui kajian multidisiplin atau karena pertimbangan-pertimbangan lain yang bersifat psikologis.
Tentang sempat disebutnya jalan terakhir untuk memberlakukan Darurat Sipil, barangkali itu hanya kegabahan anak buahnya saja. Yang mengumumkannya. Anggap saja slip of tounge.
Sebab, yang dihadapi bukanlah soal politik domestik yang bisa mengancam keutuhan negara. Tapi masalah virus yang tak kasat mata. Yang menghadapinya diperlukan langkah-langkah taktis mencegah penularannya yang cepat. Bukan dengan darurat sipil yang bernuansa politis.
Dengan keluarnya dua payung hukum tersebut, seharusnya tidak perlu ada perdebatan lagi. Metode menghadapi sudah dipilih. Anggaran untuk mitigasi teknis kesehatan dan dampak ekonominya sudah disediakan.
Yang dibutuhkan kini adalah gerak cepat.
Belajar dari penanganan berbagai negara, kecepatan adalah kunci keberhasilan. China sebagai negara pertama yang terjangkit pandemi, Singapura, dan Vietnam. Bahkan Kuba.
Juga negara yang mempunyai sistem kesehatan masyarakatnya. Mulai dari budaya hidup bersihnya, ketersediaan sarana-prasarana kesehatannya, jaminan kesehatan, dan kesigapan aparatnya.
Yang keteteran justru negara yang pemimpinnya menganggap enteng pandemi ini. Amerika, Italia, dan Spanyol adalah diantara negara yang tak sigap dalam menghadapi wabah ini.
Di Indonesia, Presiden telah menyediakan payung hukum dan anggarannya. Juga telah memerintahkan semua jajaran di bawahnya untuk bergerak cepat. Menindaklanjuti kebijakan yang telah diambil.
Dalam UU Kekarantinaan Kesehatan yang menjadi rujukan kebijakan mengatasi pandemi ini, Kementerian Kesehatan memegang kunci. Tapi justru di kementerian itu yang tidak kelihatan kelincahan dalam bergerak.
Malah yang sudah bergerak mendahului payung hukum adalah Kemendikbud, Kementerian BUMN --yang seharusnya hanya pelengkap, dan beberapa kepala daerah. Meski yang disebut terakhir ini sering bernuansa berlebihan.
Seharusnya, Kementerian Kesehatan segera merencanakan belanja alat kesehatan untuk penanganan Corona. RS di daerah mana saja yang harus segera dibantu penyediaan test rapidnya, ventilatornya, dan kamar isolasinya.
Langkah di lapangan yang harus dikejar bukan sekadar pencegahan pandemi. Tapi penanganan. Dan penanganan bukan lagi wacana, tapi kerja, kerja, dan kerja.
Atau barangkali memang kita tidak bisa berharap banyak kepada Kementerian Kesehatan. Atau sepenuhnya dilimpahkan ke Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang dikepalai Doni Monardo.
Tentu, pemerintah telah mempunyai perkiraan puncak pandemi ini. Daerah mana saja yang akan terjadi ledakan. Nah, untuk daerah-daerah itu yang perlu segera disiapkan fasilitas kesehatan untuk penangannya.
Jadi yang diperlukan sekarang adalah gercepnya para menteri, para kepala daerah, dan satgas yang mendapat tugas menangani pandemi ini.