Menuju Normal
Tidak ada yang kaget. Ya kan? Padahal Indonesia sudah melewati angka 10.000. Anda pun kelihatannya tidak. Perasaan umum seperti biasa-biasa saja.
Angka 10.000 itu seperti kalah wibawa dengan angka 1 --ketika pertama dulu ditemukan penderita Covid-19 di Indonesia.
Hebohnya, waktu itu, bukan main. Apalagi yang pertama terkena itu wanita. Dikaitkan pula dengan pesta Valentine. Yang dihadiri warga Jepang --yang baru datang dari Malaysia.
Di situlah terjadi penularan pertama untuk orang Indonesia. Secara resmi.
Sehari sebelum itu Covid masih dikategorikan hoax di negeri ini.
Seandainya angka 10.000 itu menjadi 15.000 sekali pun kelihatannya akan biasa-biasa saja. Kita sudah mulai akrab dengan musuh kita.
Angka itu bahkan masih cukup membanggakan. Bangga pada negeri sendiri: kita ini tetap lebih hebat. Dibanding banyak negara maju sekali pun. Yang mereka ternyata lebih kedodoran menghadapi Covid.
Penduduk kita hampir 300 juta. Angka 10.000 apalah artinya. Lihatlah Amerika Serikat. Penderitanya sudah lebih 1,2 juta. Padahal jumlah penduduknya tidak banyak beda.
Lihatlah negara sekecil Belanda, atau Belgia, atau Swiss, atau bahkan Israel. Angka penderitanya jauh di atas Indonesia.
Pun negara mini Singapura. Sudah hampir dua kali lipat Indonesia. Padahal Singapura kita kagumi sebagai negara dengan manajemen yang hebat.
Kalau penderita di Singapura 17.000 seperti sekarang ini, harusnya Indonesia mencapai 700.000.
Maka angka 10.000 yang menimpa Indonesia luar biasa hebatnya.
Indonesia, 加油!
Tidak usahlah membandingkan dengan Vietnam, atau Kamboja, atau Thailand. Bikin pesimistis saja.
Right or wrong is our country!
Ternyata kita sama sekali tidak menyesal tidak memberlakukan lockdown. Kita bangga bahwa kita punya ide sendiri: PSBB. Yang di Surabaya bikin heboh. Macet panjang di Bundaran Waru. Yang dari Sidoarjo tidak boleh ke Surabaya. Atau sebaliknya.
Padahal mereka yang lewat jalan alternatif --lewat Sepanjang dan Karah-- bisa juga sampai Surabaya --tanpa ada pemeriksaan apa-apa.
Pokoknya kita hebat.
Lihatlah New York. Yang polisinya sampai menerima pengaduan: persoalan bau busuk. Yang bau itu sampai ke perumahan di sebelah rumah kematian.
Ternyata rumah kematian itu tidak mampu lagi menampung mayat Covid-19 di New York. Yang sudah mencapai 30.000 orang.
Rumah kematian itu ternyata menyewa truk yang ada pendinginnya. Dijejer-jejer di pinggir jalan. Mayat-mayat itu sebagian dimasukkan truk tersebut. Total sampai 50 mayat. Di antara truk itu ada yang bocor: banyak air menetes dari dalam. Yang membawa serta bau busuk itu. Rupanya pendinginnya bermasalah.
Polisi hanya meminta rumah kematian itu menghilangkan baunya. Tanpa melakukan tindakan hukum apa pun. Di sana pun hukum bisa maklum: lagi ada Covid.
Yang lebih menarik adalah perkembangan di Iran. Yang semula menduduki ”juara tiga” terbesar korban Covid-nya --setelah Tiongkok dan Italia. Belakangan Iran digeser ke urutan ke-10 oleh negara-negara maju Eropa.
Presiden Iran Hassan Rouhani tiba-tiba bikin kejutan: kehidupan di Iran akan segera dinormalkan. Meski penderita baru masih ratusan/hari. Dan yang meninggal masih sekitar 100/hari.
Mengapa kehidupan akan segera dinormalkan?
”Wabah ini tidak jelas kapan berakhirnya. Kalau kehidupan dibatasi terus negara akan runtuh,” katanya.
Ekonomi di Tiongkok juga terus menggeliat. Mulai Rabu kemarin jalan-jalan tol sudah tidak gratis lagi.
Lebih tiga bulan jalan tol gratis di sana. Pertambahan penderita baru memang nyaris 0 di Tiongkok. Konsentrasi sudah lebih ke ekonomi.
Ibarat kebakaran, api ya sudah padam. Sudah waktunya membangun rumah itu kembali.
Ini agak berbeda dengan kebijakan beberapa negara lain: rumah terus diperbaiki di tengah kebakaran masih terus berkobar.
Di Iran persoalannya lebih serius. Negara itu sendiri lagi diisolasi oleh Amerika. Iran harus hidup sendiri. Keruntuhan ekonominya tidak bisa dibantu siapa-siapa.
Maka Iran memilih segera memperbaiki rumahnya --sementara api masih belum padam.
Namun bukan berarti Iran akan kembali bebas seperti dulu. ”Protokol kesehatan tetap harus ditaati. Cuci tangan, jaga jarak, dan pakai masker tetap harus dipatuhi. Tapi toko-toko, restoran, pabrik, dan apa pun boleh beroperasi penuh," ujar Presiden Iran.
Yang seperti itu tidak bisa dikategorikan sebagai kebijakan herd immunity. Mungkin hanya setengahnya.
Ini lebih mirip doktrin: yang tidak disiplin tanggung sendiri akibatnya.
Tapi tetap berisiko: kalau terlalu banyak yang sakit mau dirawat di mana.
Tapi Iran tidak menyesali lockdown selama ini. Itu dinilai tetap ada manfaatnya. Yakni untuk membuat kejutan. Sebagai sarana menyadarkan masyarakat akan bahaya Covid-19.
Dengan lockdown masyarakat menjadi lebih peduli. Lebih siap. Dan lebih sadar. Setelah tahu semua risiko itu masyarakat tinggal pilih: sadar atau mokong.
Pilihan berikutnya diserahkan kepada mereka sendiri: mau ke restoran atau mau ke kuburan.(Dahlan Iskan)