Menteri 50 Hari
Sehari setelah dilantik, Gus Ipul alias Saifullah Yusuf menelpon. Saat saya hendak berangkat kunjungan Pabrik Gula Bunga Mayang di Lampung.
Ia mengontak setelah lihat misscall dan pesan Whatsapp dari saya. Saya mengirim pesan kepada keponakan Gus Dur itu untuk menyampaikan selamat atas amanat barunya.
Sekretaris Jenderal PBNU ini baru saja dilantik Presiden Joko Widodo menjadi Menteri Sosial RI. Menggantikan Tri Rismaharini yang mengundurkan diri.
Lantas apa yang bisa dikerjakan Gus Ipul dalam 50 hari masa jabatannya sebagai Menteri Sosial? Masihkah ada “sisa” program dan kegiatan di kementerian yang ditinggalkan politisi perempuan dari PDI Perjuangan ini? Akankan jabatan Gus Ipul ini hanya antara untuk jabatan setara berikutnya?
Yang pasti, ini bukan kali pertama Gus Ipul menjadi menteri. Pada pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, ia menjadi anggota kabinet sebagai Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT).
Tapi tidak lama. Digantikan dengan orangnya A. Muhaimin Iskandar setelah berhasil merebut PKB dari Gus Dur. Gus Ipul yang sama-sama keponakan Gus Dur seperti Cak Imin akhirnya ikut Pilgub Jatim bersama Pakde Karwo alias Sukarwo.
Tidak terlalu lama setelah lengser dari menteri, Gus Ipul terpilih menjadi Wakil Gubernur Jatim selama dua periode. Selama menjadi orang kedua di propinsi basis warga Nahdliyin ini, Gus Ipul berhasil menjadi pejabat yang bukan hanya berfungsi sebagai ban serep.
Sebagai politisi yang punya basis kuat di NU, ia tampil sebagai wakil
Kepala Daerah yang populer. Ia jadikan Jawa Timur sebagai “panggung baru” keaktoran politiknya. Ia bisa mengkapitalisasi perannya yang terbatas menjadi sesuatu yang memperkuat branding dirinya.
Ia dikenal swbagai pasangan gubernur dan wakil gubernur Jatim yang paling harmonis selama masa jabatannya. Pakde Karwo sangat menghargai dan menghormati Gus Ipul. Demikian juga sebaliknya. Padahal, waktu itu, banyak pasangan kepala daerah yang bermasalah.
Modal politik dan sosial mengantarkan ia untuk maju dalam kontestasi Pilgub setelah itu. Ia bersaing dengan sesama kader NU: Khofifah Indar Parawansa yang berpasangan dengan Emil Dardak. KIP –demikian Ketum PP Muslimat itu biasa dipanggil– maju pilgub Jatim untuk ketiga kalinya.
Singkat cerita, ia kalah.
Menyerahkah dia?
Tidak.
Setelah gagal menjadi Gubernur Jatim, ia memilih bertarung untuk menjadi Walikota Pasuruan. Kota dengan hanya menaungi empat kecamatan. Sangat kecil dibanding Jatim yang punya 39 Kabupaten dan Kota.
Satu periode menjadi walikota, ia berhasil mengubah wajah Pasuruan. Merevitalisasi bangunan kuno dan menjadikan alun-alun sebagai destinasi baru dengan payung seperti di halaman Masjid Nabawi Madinah.
Keberhasilan Gus Ipul dalam memimpin Pasuruan membuktikan keandalannya sebagai politisi. Baginya, panggung besar atau kecil sama saja. Yang penting bisa berkiprah dan bisa meninggalkan jejak karyanya.
Karena itu, kalau kemudian ia dipilih Presiden Jokowi menjadi menteri di akhir masa jabatan keduanya, itu bukan hal aneh. Apalagi dari hasil Mukatmar NU di Lampung, mantan Ketum PP GP Anshor dua periode ini dipercaya menjadi Sekretaris Jenderal PBNU.
Selain memiliki darah biru NU, Gus Ipul adalah sahabat lama Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf. Sejak keduanya masih menjadi pelajar. Sejak masih sama-sama menjadi anggota IPNU (Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama).
Keduanya sahabat yang tak terpisahkan dalam kondisi apa pun. Apalagi, Gus Yahya yang jebolan Fisipol UGM ini pernah menjadi juru bicara Presiden Gus Dur alias KH Abdurrahman Wahid. Keduanya saling menopang dalam karir dan kehidupan.
Karena itu, ketika Gus Yahya memegang kendali atas ‘’panggung besar’’ yang namanya NU, Gus Ipul langsung menjadi bagian penting pengisi panggung tersebut. Jadilah, Gus Ipul yang selama lima tahun bermain di ‘’pangggung kecil’’ bergeser ke ‘’pangung besar’’.
Sejak menjadi Sekjen PBNU, perjalanan karir politiknya bisa dengan gampang dibaca. Ia tak akan mungkin kembali hanya cukup memimpin Kota Pasuruan. Kota santri di Jawa Timur itu sudah cukup menjadi ajang pembuktian kemampuanya teknokratisnya.
Transformasi Gus Ipul sebagai politisi sebetulnya sudah bisa dibaca sejak ia sukses menjadi wakil gubernur Jatim. Pengalamannya selama dua periode sebagai orang kedua di propinsi itu telah menjadikan dia tidak hanya sebagai politisi. Tapi juga menjadi teknokrat.
Fase sekarang, Gus Ipul bisa disebut sebagai sedikit dari orang NU yang mempunyai kepiawaian politis sekaligus teknokratis. Ini adalah modal besar dia untuk berkiprah lebih besar di tingkat nasional. Teruji dalam politik, piawai dalam memimpin birokrasi, dan memiliki basis sosial yang kuat.
Karena itu, bisa dibayangkan jabatannya selama 50 hari menjadi menteri ini, hanya sebuah tiket masuk ke dalam gerbong baru pemerintahan. Ibarat mau naik pesawat, ia setidaknya sudah check in terlebih dulu. Tinggal menunggu boarding untuk masuk ke dalam pesawat yang akan membawanya ke tujuan yang baru.
Tentu tidak akan banyak yang bisa dikerjakan Gus Ipul di sisa masa bakti kabinet sekarang. Tapi, dia dikenal sebagai orang yang bisa ‘’menciptakan’’ sesuatu di masa yang singkat. Setidaknya, dia pasti bisa berbuat sesuatu di masa yang singkat.
Kalau ada yang meragukan bahwa Gus Ipul akan mampu melakukan sesuatu yang ada ‘’jejak kaki’’ di kementerian itu, hal itu bisa saja terjadi. Tapi bukan keniscayaan jika ia bisa melangkah untuk mempersiapkan sesuatu dalam jejak kaki berikutnya.
Apalagi kalau dia kelak di percaya untuk menjabat di pos yang sama dalam pemerintahan Presiden Prabowo mendatang. Sudah sangat cukup modal politik dan sosial untuk mengemban amanat itu selanjutnya. Who Knows?