Mensekneg Zaman Gus Dur, Bondan Gunawan Meninggal Dunia
Mantan Menteri Sekretaris Negara era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Ir Bondan Gunawan Sastrosudarmo, Kamis 23 Mei 2019, siang ini pukul 13.00 WIB meninggal dunia di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta.
"Jika pernah semasa hidupnya, beliau memiliki khilaf dan janji yang belum sempat terpenuhi, mohon dibukakakan pintu maaf yang sebesar-besarnya. Wassalamu'alaikum warahmatullaahi waabarakaatuh..."
Demikian kabar beredar via sebuah WAG, dikirim Halim HD dari Solo dan sejumlah tokoh menyatakan bela sungkawa, seperti Garin Nugroho, Tommy F Awuy, dan lainnya, dikutip ngopibareng.id.
Jenazah disemayamkan di rumah duka, Jl. Cendrawasih Mas VIII, Blok A9 No. 4, Perumahan Tanjung Mas Raya, Tanjung Barat, Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
Bondan Gunawan yang lahir di Jogjakarta, 24 April 1948, dikenal sangat dekat dengan Gus Dur. Ia pun aktif dalam Forum Reboan bersama Nurcholish Madjid, Adnan Buyung Nasution, dalam Forum Demokrasi yang dipandegani Gus Dur.
"Bondan Gunawan adalah seorang geolog dan sempat menjadi dosen Fakultas Teknik Geologi dan Mineral Universitas Trisakti pada 1986 hingga 1989. Lalu ia pernah pula menjadi Rektor Universitas 17 Agustus. Bondan bergabung dengan Kelompok Kerja Forum Demokrasi (Fordem) yang dipimpin oleh Gus Dur hingga akhirnya ia menjadi Ketua dari komunitas politik tersebut."
Saat SMA ia aktif di Gerakan Siswa Nasional Indonesia (GSNI), sebuah organisasi beraliran nasionalis dan pro Bung Karno. Ketika kuliah di Jurusan Teknik Geologi UGM, ia pernah menjadi fungsionaris Dewan Mahasiswa UGM dari tahun 1972 hingga 1975.
Ia adalah seorang geolog dan sempat menjadi dosen Fakultas Teknik Geologi dan Mineral Universitas Trisakti pada 1986 hingga 1989. Lalu ia pernah pula menjadi Rektor Universitas 17 Agustus. Bondan bergabung dengan Kelompok Kerja Forum Demokrasi (Fordem) yang dipimpin oleh Gus Dur hingga akhirnya ia menjadi Ketua dari komunitas politik tersebut.
Hal ini membuatnya dekat dengan Gus Dur sehingga ia pun kemudian diangkat menjadi Sekretaris Pengendalian Pemerintahan RI dan juga Sekretaris Negara menggantikan Alirahman yang selanjutnya mengundurkan diri.
Pada saat Hari Raya Idul Adha tahun 2000, Bondan diutus Presiden Abdurrahman Wahid untuk bertemu dengan Panglima Angkatan Gerakan Aceh Merdeka (AGAM), Teungku Abdullah Syafei dan menjadikannya sebagai pejabat pemerintah pusat pertama yang datang ke markas GAM dan bertemu dengan petingginya.
Pada malam tanggal 29 Mei 2000, Bondan mengadakan konferensi pers mengumumkan pengunduran dirinya dari jabatannya. Pengunduran diri itu diduga terkait dengan kasus bobolnya dana Yayasan Bina Sejahtera (Yanatera) Bulog sebesar Rp 35 miliar yang melibatkan dirinya. Namun ia membantah terlibat, ia beralasan pengunduran dirinya itu agar tidak membebani Presiden dengan masalah yang sedang dihadapinya.[4] Ia kemudian digantikan oleh Djohan Effendi.
Buku Memoar, Kehidupan pribadi
Bondan memiliki dua anak masing-masing bernama Purwendah Sekarhapsari dan Bondan Kanumuyoso. Istrinya, Heridiana telah meninggal pada 17 Maret 2011. Selain itu, ia juga merupakan adik dari salah satu Pahlawan Revolusi, Brigjen Katamso Darmokusumo yang tewas dalam peristiwa G30S/PKI di Yogyakarta.
Aktivitas Bondan Gunawan, terakhir sempat menarik perhatian publik. Ketika ia melakukan peluncuran buku yang berjudul 'Hari-hari Terakhir Bersama Gus Dur' pada pertengahan 22 Juli 2019. Dalam acara itu, pengamat politik sekaligus sastrawan, Prof Mochtar Pabotinggi dan mantan Ketua BPIP, Yudi Latief didapuk sebagai pembicaranya.
Bondan mengisahkan, awalnya buku Hari-hari Terakhir Bersama Gus Dur' itu akan diterbitkan ketika dirinya berusia 65 tahun. Namun, pembuatan buku tersebut sempat tertunda dikarenakan kedua orang tuanya meninggal dunia. Sehingga barulah di umurnya yang ke-70 saat ini, buku itu rampung dibuatnya.
Dalam Hari-hari Terakhir Bersama Gus Dur' dijelaskan, pokok buku itu berisi tentang bagaimana kelompok-kelompok yang berbeda dapat mewujudkan satu cita-cita bangsa dan negara, yakni untuk melahirkan bangsa yang lebih besar dan kuat.
"Yang paling pokok dalam buku ini, kami berangkat dari kelompok-kelompok berbeda tapi ketika berbicara bersama-sama tentang negara maka tidak ada perbedaan dan bagaimana kami bisa mewujudkan cita-cita kami. Kami jelas berbeda tapi demi satu cita-cita kami bisa bersama dan mewujudkannya," kata Bondan Gunawan.
Dalam pandangan Yudi Latief, karya Bondang tersebut bisa menjadi alat bercermin untuk melihat demokrasi saat ini. Karenanya dia menilai karya Bondan Gunawan itu menjadi penting.
Karya tersebut berkisah tentang masa-masa puncak pemerintahan otoritarian Soeharto sekaligus mimpi publik tentang demokrasi, dapat menjadi tolak ukur perkembangan demokrasi di Indonesia yang telah berjalan selama 20 tahun.
"Apakah perkembangan demokrasi sekarang sudah sesuai dengan ideal-ideal itu atau mengalami deviasi. Nah buku itu menjadi penting sebagai batu uji," kata Yudi.
Sedang Mochtar Prabotinggi mengakui, buku itu dapat dijadikan sebagai referensi. "Orang objektif dan berani ungkapkan sesuatu apa adanya dan buku ini sangat berimbang dan jadi referensi," ujar Mochtar.
Mochtar pun merasa, buku-buku terkait Gus Dur, termasuk yang dituliskan Bondan, selalu dapat membuat pembaca merasakan kerinduan atas perginya Bapak Pluralisme Indonesia itu.
"Tiap kali terbit buku bagus tentang Gus Dur, tiap kali itu kita merasakan kerinduan kita atas sosok beliau. Kita sangat merasa kehilangan oleh beliau," tuturnya. (adi)