Menristek Didemo SMI, Minta Stop Kapitalisasi Pendidikan
Ratusan mahasiswa yang tergabung dalam Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI) mendesak Menristek Dikti untuk menghentikan kapitalisasi pendidikan, utamanya di perguruan tinggi.
Sistem pendidikan hari ini tak lebih dari sekedar instrumen yang memproduksi ketimpangan sosial. Sasarannya bukan untuk memperbaiki standar hidup manusia, melainkan untuk meningkatkan efisiensi dan tingkat keuntungan perusahaan-perusahaan, tanpa peduli dengan kerusakan ekologis dan manusiawinya.
Ketua Umum SMI, Nunung Lestari, mengatakan kapitalisasi pendidikan telah memodifikasi tak hanya pada pelepasan tanggung jawab negara, namun melalui pemberlakuan hak kekayaan intelektual, mendesain kurikulum pendidikan agar sesuai dengan kepentingan bisnis, memperpendek waktu kuliah yang diikuti kenaikan biaya pendidikan, hingga membuat skema "kontrol politik kampus" melalui regulasi NKK/BKK gaya baru, misalnya PP 55/2018.
"Praktik kapitalisasi pendidikan ini jelas merupakan masalah besar kita bersama," kata Nunung, saat berunjuk rasa di depan Kantor Menristek Dikti, Senayan, Jakarta, Senin 10 Desember 2018.
Lanjut Nunung, pendidikan harus dikembalikan ke tujuannya semula yakni pembebasan manusia dari lingkungannya yang menindas.
Hari HAM yang menjadi momen deklarasi politik mobilisasi nasional SMI membawa tuntutan persoalan pendidikan dan seruan membangun persatuan gerakan untuk melawan kebijakan-kebijakan anti rakyat.
Oleh karena itu, gerakan mahasiswa bersama gerakan rakyat ini menegaskan tekad untuk memperkuat persatuan semua sektor kerakyatan, serta terus mengupayakan pembangunan kekuatan alternative, sebagai senjata untuk merebut kedaulatan ekonomi-politik kembali ke tangan kelas pekerja.
Aksi ini diikuti oleh ratusan mahasiswa yang datang dari 21 kota seluruh Indonesia. Juga turut hadir Kesatuan Perjuangan Rakyat dan beberapa federasi buruh, organisasi pemuda serta organisasi masyarakat. Sasaran aksi adalah Kemenristek-Dikti menuju Istana Negara.
SMI juga mengkritisi soal HAM. Dikatakannya, sudah ada lima pemerintahan sejak reformasi lahir masing-masing memiliki agenda penegakan hak asasi manusia.
Namun dalam praktiknya, dari era BJ Habibie hingga Jokowi, agenda penegakan HAM dilaksanakan setengah hati. Kalah prioritas dengan program pembangunan ekonomi yang kapitalistik, dalam jerat skema penyelamatan krisis global.
Upaya penyelamatan kapitalisme dari kebangkrutan telah mencetuskan sejumlah pertemuan dan perjanjian kerjasama ekonomi baik skala regional maupun skala global. Dari perjanjian WTO, UEI Cepa, MEA hingga varian perjanjian Free Trade Area, secara signifikan telah melemahkan peran negara.
Kedaulatan Negara menjadi kabur, bahkan regulasi ekonomi dengan mudahnya diintervensi kepentingan kapitalisme global. Pada akhirnya, Negara lebih banyak mewakili dan memperjuangkan kepentingan pemegang otoritas (korporasi) daripada kepentingan rakyatnya.
Unjuk rasa berlangsung tertib, berjanji tidak akan pergi sebelum Menristek Dikti menemunya. Namun ketika hujan turun pengunjuk rasa berlarian ke Bus. (asm).
Advertisement