Menolak Perkumpulan Buta Tuli, Ini Kesadaran Kiai NU tentang Pers
Media komunitas sangatlah urgen keberadaannya dalam mengembangkan visi dan misi organisasi. Betapa sejarah Nahdlatul Ulama (NU) mempunyai perjalanan panjang dalam memberi kesadaran akan informasi kepada para anggotanya. Sejak awal berdirinya, pada 31 Januari 1926.
Setahun lebih 4 bulan setelah NU berdiri, para kiai menerbitkan majalah bernama "Swara Nahdlatoel Oelama" (SNO). Kiai Wahab Chasbullah turun tangan dalam pengelolaan majalah dengan aksara Arab pegon berbahasa Jawa itu. Hadratussyekh KH Hasyim Asy'ari tidak ongkang-ongkang kaki, ia dan kiai-kiai lain turut serta menyiapkan konten.
Kiai Wahab dalam sebuah tulisannya di SNO menegaskan, sebuah perkumpulan tanpa majalah sama saja dengan perkumpulan buta tuli. Ya, NU sejak awal menolak buta tuli. Bahkan memperkuatnya. Satu majalah tidak cukup. Para kiai menerbitkan "Oetoesan Nahdlatoel Oelama" (ONO) pada Januari 1928.
"Melalui dua media ini, NU membuka mata dan telinga lebar-lebar, menyimak keadaan, menyerap napas umatnya. Lalu diolah menjadi gagasan-gagasan yang dilempar kembali ke masyarakat luas. Sedikit demi sedikit mata dan telinga NU diketahui khalayak luas," tulis Abdullah Zuma, reporter NU-Online.
KH Fadhil bin Ilyas dari Tasikmalaya tergerak menyambutnya. Ia berkomunikasi dengan majalah SNO tentang persoalan-persoalan di Priangan. Kiai Cirebon, Indramayu juga turut serta, apalagi kiai-kiai di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Pertemuan gagasan dan informasi hasil-hasil muktamar yang diselenggarakan tiap setahun, mempercepat pertumbuhan NU. Dalam kurun 10 tahun, menurut KH Wahid Hasyim, NU tersebar ke daerah-daerah hingga luar Jawa. Organisasi yang dianggap kolot dan tua ini, ternyata punya daya gerak cepat.
Dari waktu ke waktu, NU terus membuka mata dan telinganya. Ketika anggota dan pendukung NU banyak yang tak mengerti bahasa Jawa dan tak paham Arab pegon, para kiai segera membuat media bahasa Melayu dengan huruf Latin.
Pada tahun 1931, HBNO mengumumkan "Berita Nahdlatoel Oelama". Tenaga muda yang segar, KH Mahfudz Shiddiq mengelola majalah ini.
Tak hanya itu, cabang dan lembaga-lembaga NU di masa Hindia Belanda turut membuka mata dan telinga. Ansor Nahdlatoel Oelama (GP Ansor) punya "Suara Ansor". Ma'arif punya "Seoloeh Nahdlatoel Oelama". Cabang NU Tasikmalaya punya "Al-Mawaidz".
Tentang pers, KH Mahfudz Shiddiq dalam sebuah tulisannya mengutip istilah yang konon waktu itu terkenal di Eropa, wartawan ratu dunia. Istilah ini diperkuat dan dipopulerkan kembali oleh Nasida Ria melalui lagu "Ratu Dunia".
Ratu dunia ratu dunia, oh wartawan ratu dunia
Apa saja kata wartawan mempengaruhi pembaca koran
Bila wartawan memuji, dunia ikut memuji
Bila wartawan mencaci, dunia ikut mencaci
Wartawan dapat membina pendapat umum di dunia
Sungguh tepat sekali penjelasan Nasida Ria. Jika NU tak punya media sama sekali, maka Nahdliyin akan diasuh oleh wartawan yang bisa jadi memusuhinya. Banyak warga NU yang ketulangan, kalau meminjam istilah pendekar pena Mahbub Djunaidi.
"Saya sebenarnya ingin mengucapkan harlah ke-17 NU Online. Itu saja. Semoga, media ini tetap membuka mata dan telinga, agar NU tidak menjadi perkumpulan buta tuli. Amanat Kiai Wahab lho itu...," tutur Abdullah Zuma, reporter NU-Online, yang kini berhari lahir ke-17.