Menolak Fasilitas NU, Keteladanan Nyata Kiai Sahal Mahfudh
Para tokoh terdahulu mempunyai tingkat keteladanan yang tetap menjadi perbincangan hingga kini. Di kalangan santri, dikenal sikap yang tegas dari KH Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh (almaghfurlah).
Pribadi sederhana dari Pesantren Matholi'ul Falah, Kajen, Pati, Jawa Tengah, dikenal tegas dalam bersikap. Tapi, kejujurannya dan semangat kesederhanaannya itulah yang menjadi kenangan masyarakat secara luas. Belum lagi karya-karya intelektualnya, sebagai perintis Fikih Sosial yang sangat monumental di negeri ini.
Berikut kisah-kisah keteladanan Kiai MA Sahal Mahfudh:
Banyak kisah karomah dan keteladanan KH Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh, almaghfurlah. Satu yang masyhur adalah kerikuhannya terhadap berbagai bentuk layanan VVIP yang kerap melekat kepadanya, di acara-acara NU.
Termasuk kisah tentang penolakan vasilitas kamar hotel dari panitia, saat Rais ‘Aam PBNU 1999 - 2014 menghadiri sebuah resepsi kegiatan NU di sebuah Hotel berbintang di Surabaya.
Pantangan Memakai Dana Anggaran NU
Mbah Sahal berdalih pantang memakai anggaran NU sepanjang masih bisa menyelesaikan kebutuhan akomodasinya dengan uang sendiri. Sebuah teladan kesederhanaan yang berat untuk ditandingi.
"Ndak usah, aku moh nganggo duite NU. Aku nganggo duetku dewe ae. Nek NU iku urip-urip NU, ojo sepisan-pisan golek urip nok NU," demikian dawuh Mbah Sahal mengutip satu riwayat.
Keteladanan lain, sebagaimana dikisahkan salah seorang murid beliau, KH Zulfa Mustofa, yakni menyangkut ihwal penolakannya menjadi tuan rumah kegiatan Munas NU.
Saat Mbah Sahal masih menjabat sebagai Rais ‘Aam PBNU, Ketua Umum PBNU melalui rapat harian PBNU pernah secara khusus meminta agar Ponpes Maslakul Huda, Kajen, Pati - dimana Mbah Sahal sebagai pengasuhnya - berkenan ditempati sebagai lokasi gelaran Munas-Konbes NU.
Tak lain, niatan PBNU kala itu, adalah bentuk penghormatan kepada pribadi KH Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh sebagai pemegang otoritas tertinggi syuriyah, sekaligus tentu saja harapan agar dapat bertabarruk kepada leluhur Kajen, Waliyullah Syeikh Ahmad Mutamakkin.
“Saya tidak mau ngerepoti warga kampung. (Di Kajen) kita tidak punya apa-apa,” tutur Kiai Zulfa mengisahkan Mbah Sahal.
“Justru itu Kiai. Dengan jadi tuan rumah Munas sarana-prasarana bisa dibangun dan dilengkapi,” bujuk seorang pengurus PBNU.
Namun Mbah Sahal tetap bergeming. Beragam penjelasan dan harapan pengurus PBNU tidak sedikitpun mengubah sikapnya.
Memperoleh manfaat atau keuntungan pribadi dari kegiatan NU, bagi Mbah Sahal adalah pantangan. Sebab hal ini justru bisa mempermalukan diri sendiri dihadapan jam’iyah dan masyayikh NU.
“Justru itu. (Soal dibangunkan sarana-prasarana-red) kita mbayangkan saja susah. Justru itu yang saya tidak mau. Saya tidak mau nanti jadi omongan,” demikian Kiai Zulfa menirukan sikap Mbah Sahal.
Demikianlah kegigihan “Menolak Fasilitas NU” ala Mbah Sahal. Terkait penolakan menjadi tuan rumah Munas NU ini, konon bukan hanya sekali. Tapi juga untuk permohonan yang sama di tahun berikutnya untuk yang kedua kali.
Lahu wa lahum Al-fatihah.
Advertisement