Menko PMK: Pasar Vaksin Covid-19 Indonesia Jangan sampai Dijarah
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy optimis bisa melakukan uji spesimen 30.000 per hari. Asumsi itu berdasarkan hasil uji spesimen yang sekarang sudah mencapai lebih dari 10.000 per hari. Bahkan saat ini yang disiapkan untuk mencapai target 30.000 per hari.
"Kalau kita lihat untuk mencapai 20.000 tidak begitu sulit ya. Karena per tanggal 6 Mei itu sudah tercatat 13.333 tes yang bisa dilakukan. Sehingga ini saya kira bukan hal mustahil. Malah seharusnya kita bisa memikirkan bagaimana mencapai target 30.000," ujar Muhadjir dalam rapat koordinasi gugus tugas, membahas strategi percepatan penanganan Covid-19 secara virtual dengan kementerian dan lembaga terkait di Jakarta, pada Sabtu 6 Juni 2020.
Percepatan pengujian spesimen, menurut Muhadjir, akan sukses dengan adanya relawan. Dia pun mengimbau agar Kemendikbud, Kemenkes, dan Kemenristek bisa menggerakkan secara masif perekrutan relawan khususnya untuk tingkat S2 di bidang kesehatan masyarakat, keperawatan, dan mikrobiologi molekurel.
Selain itu, lanjut Muhadjir, proses tracking perlu diperbanyak. Hal tersebut perlu dilakukan agar bisa lebih terdeteksi kasus-kasus dan penyebarannya.
"Tim peneliti vaksin Covid-19 yang dibidangi oleh Kemenristek/BRIN terus dimotivasi dan didukung proses kerjanya agar bisa menghasilkan vaksin secara cepat demi kemandirian bangsa. Kalau kita bisa memotivasi mereka, mereka bisa menemukan vaksin. Kalau kita gagal mempercepat penemuan vaksin pasar itu akan dijarah produsen luar negeri. Dan ini sangat bagus kalau kita hindari ruang itu," jelas Muhadjir.
Dia juga meminta untuk menyukseskan percepatan pengujian spesimen, harga dari alat swab tes untuk uji spesimen perlu seragam dan harus murah. Ini merupakan tugas Kementerian Perdagangan agar bisa membuat regulasi terkait hal tersebut.
"Jadi tidak boleh ada persaingan terbuka. Karena ini adalah kita perang lawan Covid dan jangan ada orang yang mengambil untung terlalu banyak," ujarnya.
Kemudian, terkait tatanan kenormalan baru, menurut Muhadjir, gugus tugas dan kementerian/lembaga terkait perlu memberikan edukasi kepada masyarakat secara masif bahwa normal baru bukan berarti seenaknya saja.
Diberlakukannya kenormalan baru, menurut dia, bukan berarti kedaruratan nasional yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dicabut begitu saja. Butuh penyempurnaan aturan agar masyarakat bisa lebih memahaminya.
"Pengurangan pembatasan itu artinya PSBB masih berlaku, yaitu PSBB minimal yang seperti tercantum dalam UU Kedaruratan Kesehatan Pasal 49. Sehingga harus dipahami betul mengenai protokol kesehatan dasarnya," tegas Muhadjir.