Menjual Pintu Tol, Memanen Uang dengan Memindah Keramaian
Sabtu sore lalu, saya mengajak keluarga ke Batang, Jawa Tengah. Alasannya sederhana. Cuma ingin makan nasi megono, gulai kaki kambing, dan soto. Perjalanan ini tanpa direncanakan sebelumnya.
Masuk dari pintu tol di Baranangsiang, Kota Bogor pukul 16.45 WIB. Macet di jalan tol di sepanjang Bekasi. Masih ada proyek jalan tol layang yang tampak heboh, tapi selalu mundur jadwal selesainya.
Selepas Cikunir, jalan tol masih padat. Memasuki ruas Cikampek, jalan lebih lowong. Selepas Kanci, jalan melompong. Bisa injak pedal gas lebih dalam.
Keluar di Pintu Tol Batang, pukul 22.30 WIB. Cukup lima jam lebih, waktu perjalanan ini. Jam 23.30, Saya mlipir ke Warung Makan Pak Suhaemi. Kedai kaki lima, tapi masakannya ngangeni.
Ingin makan nasi megono dengan lauk gulai kaki kambing. Sayang, malam itu saya tak beruntung. Padahal sudah rela nyetir, tapi menu sudah tandas.
“Sudah dari selepas salat Isya, habis,” jawab salah satu pelayan, dalam Bahasa Jawa berlogat lokal. Akhirnya diganti dengan menu lain. Namun inilah enaknya di kota kecil.
Tanpa rencana, saya ketemu teman masa SMA di warung ini. Ngobrol ke sana-ke sini. Seusai bersantap, kami berebut membayari duluan. Khas, kearifan lokal.
Hari Minggu pagi, saya memilih menyantap soto. Lantas, balik ke Bogor. Masuk Pintu Tol Batang pukul 10.00 WIB dan keluar di Pintu Tol Barangsiang, Bogor Pukul 16.00 WIB.
Memang, perjalanan lewat jalan tol di sepanjang pantai utara membawa kemudahan. Lebih cepat dan mudah kemana saja dari Jakarta. Tapi masih ada kurangnya. Itu lho, tarif tolnya.
Murah? Hmm, agak lumayan. Hampir 300 ribu untuk sekali perjalanan ini. Ini mengapa jalan bebas hambatan ini benar-benar sepi. Truk hanya masuk di jalan tol lama yang tarifnya murah. Selebihnya, mereka kembali ke jalan nasional.
Imbasnya, beberapa effisiensi tak tercapai maksimal. Misalnya, memotong waktu tempuh logistik. Atau membuat harga barang jadi murah.
Masih ditambah, uang APBN kembali digunakan merawat jalan nasional. Karena truk-truk itu sebagian besar kelebihan muatan. Efeknya, membuat waktu kehandalan jalan berkurang. Cepat rusak.
Padahal, kalau truk masuk tol, dana APBN bisa digunakan untuk membangun jalan lainnya. Semoga, pemerintah ada kreatifitas guna menurunkan tarif jalan tol. Banyak cerdik pandai di sana, pasti ada jalan keluar.
Kalau tidak bisa, ya ayo kita ramaikan jalan tol. Biar modal pembangunan bisa cepat balik. Kalaupun dari uang pinjaman, setidaknya bisa cepat dilunasi.
Meramaikan jalan tol, juga punya nilai lebih. Yakni membantu ekonomi kota-kota di sepanjang jalan tol. Sehingga para pelaku ekonomi UMKM bisa ikut memanen uang.
Syaratnya, bisa memindah keramaian dari Jabotabek ke kota-kota kecil itu. Kota yang akan dengan mudah diakses, semudah saat keluar dari pintu tol terdekat. Kegiatan kreatif adalah kuncinya.
Syaratnya, kota-kota itu harus dihidupi dengan banyak even. Agar menarik pelancong. Sehingga mereka rela menghamburkan uang untuk perjalanan selama dua hari.
Sudah banyak contohnya. Semisal konser-konser musik berkelas di kota pinggiran. Atau mencipta tempat wisata yang unik. Bisa buat mejeng di media sosial.
Tentu yang dibutuhkan, para kepala daerah yang kreatif. Mereka yang punya terobosan. Penuh ide. Serta mau belajar dan bekerja keras.
Walau untuk yang satu ini, saya agak pesimis. Kultur demokrasi dengan uang, membuat para kepala daerah sudah sibuk dengan kepentingan pribadinya. Mengembalikan pinjaman modal pilkada.
Efeknya, ada yang terjerat operasi tangkap tangan KPK karena jualan jabatan. Atau mencari komisi dari kontraktor APBD. Urusan kehidupan ekonomi rakyat? Bisa jadi nomer sekian.
Pada titik ini, peran pemerintah pusat menjadi krusial. Lewat dua tangannya: Badan Ekonomi Kreatif atau Kementerian Pariwisata, kegiatan ini seharusnya bisa dieksekusi. Karena mereka tulang punggung sektor ini.
Sehingga uang APBN tak hanya dihamburkan untuk promosi di luar negeri. Sekadar pasang media iklan saja. Atau hanya bikin workshop, lokakarya, atau seminar yang hasilnya entah apa.
Sudah saatnya, uang itu dikembalikan ke daerah. Memperkuat pariwisata lokal. Menarik warga Jabotabek mengudupi kota-kota kecil itu.
Jika tak ada tempat wisata alam yang kuat, ya dibantu dibuat wisata artifisial. Sudah banyak contoh di kota besar yang bisa diduplikasi. Dari bangunan unik atau museum nan menarik.
Cara lainnya, dua lembaga itu bisa membuat even tahunan di sepanjang kota-kota di Pantai Utara Jawa ini. Bisa mengajak swasta. Misalnya bikin ajang kreatifitas, karnaval, konser musik, atau kegiatan apa pun yang bisa menarik warga Jabotabek.
Efek ekonominya tentu dahsyat. Ada uang APBN, sebagian APBD, sponsor perusahaan swasta, juga uang para pelancong. Warga kota kecil pasti bahagia karena ada keramaian dan usaha ekonomi kecil berderak.
Para pembuat kebijakan pariwisata, seharusnya meniru strategi tokopedia. Marketplace ini tidak memilih ekspansi ke negara lain, tapi ke kota-kota kecil dengan membuat desa digital. Ya, karena ada kesungguhan nilai untuk mengembangkan Indonesia.
Wisatawan lokal adalah penghambur uang yang sebenarnya. Pengeluaran mereka untuk piknik bisa jadi nilainya besar. Sehingga kredo di bidang pariwisata yang dibangun bisa serupa.
Menyemarakkan wisata kota kecil. Karena, kota kecil dengan beragam atraksi kegiatan bisa jadi surga bagi semuanya. Semua bahagia.
Di akhir pekan, warga Jabotabek bisa berbondong-bondong ke luar Jabotabek. Bisa memilih kota-kota di Pantura yang punya even menarik. Jumat sore jalan, balik pada Minggu siang.
Bila ini terjadi, semua dapat keuntungan. Jalan tol ramai dan warga kota-kota kecil itu juga bersorak sorai. Karena rumusnya sederhana, hanya menjual pintu tol saja.
Ajar Edi, kolomnis “Ujar Ajar” di ngopibareng.id