Menjodohkan Jokowi dengan Prabowo. Siapa Untung, Siapa Buntung?
Kalangan internal PDIP mulai menggarap secara serius isu kemungkinan menjodohkan Jokowidengan Prabowo.
“Mungkin saja. Dalam politik itu nggakada yang nggak mungkin,” kata Ketua DPP PDIP (non aktif) Puan Maharani pada penutupan Rakernas III di Bali.
Pernyataan Puan “putri mahkota” Ketua Umum PDIP Megawati ini tidak bisa dianggap sebagai ucapan sambil lalu. Seorang ketua umum partai pendukung pemerintah mengaku pernah diajak bicara soal ini. Ketika bertemu di istana, Jokowi bertanya “bagaimana kalau dia berpasangan dengan Prabowo?”
Sama seperti Puan, Jokowi juga bicaranya terkesan sambil lalu, setelah berbicara berbagai topik lainnya. Tapi sang ketua umum dapat menangkap dan memahami apa sebenarnya yang menjadi keinginan Jokowi.
Mengapa Jokowi dan juga PDIP ingin menggandeng Prabowo? Mengapa tidak memilih salah satu calon di internal PDIP, Puan Maharani misalnya. Atau memilih satu diantara para ketua umum partai pendukung yang juga bersiap, bahkan sangat menginginkan digandeng sebagai cawapres. Bagaimana kalkulasinya?
Mari kita lihat dari hitung-hitungan, kalkulasi politik kedua belah pihak.
Pertama, dari sisi Jokowi bagaimanapun juga saat ini Prabowo masih merupakan penantang terkuat. Sejumlah survei menunjukkan keduanya merupakan pemilik elektabilitas teratas, dibandingkan dengan capres-capres lainnya. Bila disatukan, maka hampir dapat dipastikan Jokowi akan kembali melenggang ke kursi presiden untuk kedua kalinya.
Kedua, dengan menggandeng Prabowo, Jokowi bisa menutup peluang kemungkinan munculnya figur alternatif yang bisa diusung kubu penantang.
Gerindra saat ini memiliki 73 kursi. Bila bergabung dengan sekutu utamanya PKS yang memiliki 40 kursi, maka total jumlahnya 113 kursi, sudah memenuhi syarat minimal presidential threshold 20% dari total kursi DPR sebanyak 560.
Munculnya figur alternatif inilah yang tampaknya saat ini mati-matian dihindari oleh kubu pendukung Jokowi. Sebab berbagai survei juga menunjukkan elektabilitas Jokowi hanya berkisar di angka 40%, bahkan cenderung menurun sampai di angka 35%. Sudah lampu kuning. Artinya ada 60-65% pemilih menginginkan figur baru.
Dua nama yang disebut-sebut punya potensi mengalahkan Jokowi adalah Gatot Nurmantyo dan Anies Baswedan. Keduanya punya kedekatan dengan umat, dan sangat mungkin diusung oleh Gerindra dan PKS.
Di luar itu ada tiga partai lain yang bisa mengusung kandidat, yakni Demokrat (61), PAN (49), dan PKB (47). Namun poros ini hanya bisa mendapat satu tiket bila ketiga-tiganya bergabung dengan total 157 kursi.
PKB walaupun sejauh ini belum menyatakan akan mencalonkan Jokowi, namun posisinya berada di pemerintahan. Jadi mendukung Jokowi tampaknya tetap menjadi opsi utama, apalagi bila Ketua Umum PKB Muhaimin diusung sebagai cawapres. Sementara PAN kendati berada dalam kubu pemerintah, namun naga-naganya bakal membelot dan lebih punya kedekatan dengan Gerindra dan PKS.
Ketiga, bila berhasil menarik Prabowo, maka niat Jokowi untuk merangkul PKS bisa berhasil. Jokowi diketahui secara intensif sudah melakukan pendekatan dengan PKS agar bersedia bergabung dalam poros pendukungnya. Kabarnya Jokowi memberi tenggat waktu akhir bulan ini, untuk PKs.
Bergabungnya PKS sangat penting bagi Jokowi untuk meraih dukungan dari kalangan umat Islam yang selama ini menjadi titik lemah Jokowi. Namun karena penolakan kader yang begitu kuat, membuat pimpinan PKS harus menolak pinangan Jokowi.
Bila Prabowo menjadi cawapres Jokowi, maka PKS akan dihadapkan pada posisi yang sulit, dan mau tidak mau harus mendukung duet ini. Dengan begitu target Jokowi menggaet PKS tetap berhasil, kendati dengan cara melingkar.
Keinginan menggaet Gerindra dan PKS tersebut secara tegas juga dinyatakan oleh Wakil Sekjen DPP PDIP Ahmad Basarah. Dia menyebutnya sebagai power sharing. Bagi-bagi kekuasaan.
Keempat, berbagai skenario tadi bila berhasil akan membuat Jokowi melawan kotak kosong dalam Pilpres 2019. Secara kalkulasi tinggal Demokrat dan PAN yang tersisa, bila PKB kemudian juga memutuskan bergabung dengan Jokowi. Total suara Demokrat dan PAN hanya 110 kursi, atau kurang dua kursi untuk memenuhi syarat presidential threshold.
Keinginan agar Jokowi dapat melawan kotak kosong sudah dinyatakan oleh fungsionaris Golkar Bambang Soesatyo yang kini menjadi Ketua DPR. Namun keinginan ini nampaknya terbentur pada ketentuan UU yang tidak memungkinkan adanya calon tunggal.
Kelima, bagi PDIP bila jadi menggandeng Prabowo akan sangat menguntungkan karena dari sisi usia Prabowo tidak mungkin lagi menjadi capres pada Pilpres 2024. Karena itu tidak membahayakan bagi proses kaderisasi di PDIP. Pada Pilpres 2024 Puan Maharani setidaknya sudah cukup matang untuk bertarung menjadi capres.
Selain itu keuntungan lain dari PDIP bisa mengeliminir peluang Gerindra menjadi partai pesaing PDIP. Sebab banyak pendukung Gerindra yang akan kecewa dan mengalihkan dukungannya ke partai lain, bila Prabowo mendukung Jokowi.
Satu hal lagi yang juga perlu dicatat, setidaknya Megawati bisa membayar hutang janji yang tertunda kepada Prabowo. Dalam perjanjian Batutulis sebelum Pilpres 2009 Megawati berjanji akan mendukung Prabowo pada Pilpres 2014, bila dia bersedia menjadi cawapres Megawati. Janji itu tidak dipenuhi. Megawati malah mengusung Jokowi yang ironisnya kemudian mengalahkan Prabowo.
Lantas bagaimana hitung-hitungannya dari sisi Prabowo. Apa untung ruginya?
Pertama, bagi Prabowo bila bergabung dengan Jokowi akan sangat menguntungkan.Apalagi bila melawan kotak kosong.
Dia akan terhindar dari membuat sejarah buruk karena kalah tiga kali berturut-turut dalam Pilpres.
Pada Pilpres 2009 Prabowo menjadi cawapres Megawati, kalah dari pasangan SBY-Budiono. Pada Pilpres 2014 Prabowo yang menjadi capres berpasangan dengan Hatta Radjasa, kalah melawan Jokowi-Jusuf Kalla.
Kedua, Prabowo tidak perlu memikirkan penggalangan dana. Dapat dipastikan semua biaya pencapresan akan ditanggung Jokowi dan para pengusungnya. Bisnis yang dikelola adik kandungnya Hasyim Djojohadikusumo juga bisa berjalan dan bangkit kembali.
Sebaliknya bila dia maju kembali sebagai capres, maka dia harus bekerja keras melakukan pengumpulan dana. Soal dana ini menjadi soal sangat krusial dan serius. Dengan elektabilitasnya yang rendah dan berpotensi besar kalah bila melawan Jokowi, sangat sulit mencari “Bandar” yang mau membiayai dan menyokongnya.
Ketiga, dari survei yang dilakukan Median 1-9 Februari hanya 1.7% pemilih Gerindra yang akan memilih Jokowi. Artinya peluang Gerindra untuk menjadi partai papan atas bersama PDIP bisa terancam bila Prabowo memutuskan bergabung dengan Jokowi.
Soal ini harus menjadi pertimbangan serius bagi Prabowo. Sebagai pendiri Gerindra tentu dia ingin mempunyai warisan, legacy. Prabowo pasti tidak ingin dikenang sebagai orang yang mendirikan dan membangun Gerindra dengan susah payah, dan kemudian menghancurkannya.
Keempat, citra Prabowo sebagai politisi yang sangat dekat dan mendukung kepentingan umat akan tetap terjaga bila Prabowo memilih tidak bergabung dengan Jokowi. Sebaliknya bila bergabung dengan Jokowi, maka dia akan dikenang sebagai politisi yang mengkhianati aspirasi umat
Kelima, bila memutuskan untuk tidak bergabung dengan Jokowi, atau maju sendiri sebagai capres, Prabowo bisa menjadi seorang king maker. Tangan dinginnya sebagai king maker telah terbukti pada dua Pilkada DKI (2012 dan 2017).
Gerindra bisa mendukung salah satu diantara Gatot Nurmantyo, Anies Baswedan, atau figur lain yang punya kedekatan politik dengannya.
Bila Gatot yang dipilih, dia bisa menciptakan pasangan yang kuat militer-sipil. Sementara bila Anies yang dipilih maka Gerindra akan mendapat bonus tambahan, karena kadernya Sandiaga Uno akan menjadi Gubernur DKI. Dia akan menggantikan Anies, yang terpilih sebagai presiden.
Sebagai king maker Prabowo akan tetap memainkan peranan politik yang sangat penting, seperti posisi Megawati saat ini. Kendati tidak menjadi presiden, tapi realitas politik yang tidak bisa dibantah, Megawati adalah politisi paling berpengaruh di Indonesia saat ini.
Berbagai kalkulasi politik tadi tentu akan menjadi pertimbangan yang tidak mudah bagi Prabowo dan para pendukungnya. Dalam politik tidak hanya sekedar untung dan rugi, tapi ada idealisme yang harus diperjuangkan.
*Hersubeno Arief adalah wartawan senior yang kini menjadi konsultan media dan politik - Tulisan ini dikutip secara utuh dari https://www.hersubenoarief.com/artikel/menjodohkan-jokowi-dengan-prabowo/