Menjaga Seblang dengan Mengungkap Nilai Filosofis di Dalamnya
Bermula dari isu globalisasi yang berdampak pada munculnya homogenisasi budaya, sekelompok mahasiswa Universitas Negeri Surabaya (UNESA) melakukan penelitian. Diketuai oleh Asha mahasiswa Ilmu Komunikasi, berjudul ‘Meretas Nilai Filosofis Ritual Seblang Banyuwangi Sebagai Strategi Cultural Resilience Menghadapi Globalisasi Budaya’ untuk mengetahui ketahanan budaya Seblang di Banyuwangi.
Seblang merupakan salah satu budaya tertua di Banyuwangi. Upacara adat Seblang dilaksanakan hanya sekali dalam setahun. Diselenggarakan untuk mengungkapkan rasa terima kasih atas hasil panen, kesuburan tanah, keselamatan warga desa, penyembuhan penyakit, penghormatan kepada sesepuh, dan mengusir roh-roh jahat.
“Seblang merupakan ritual simbolik yang syarat makna. Simbol tersebut perlu diungkap agar lebih dipahami dan menjadi pedoman masyarakat menjalankan norma-norma kolektif sebagai upaya memperkuat solidaritas sosial,” ungkap Asha.
Di Banyuwangi ada perbedaan pada upacara adat Seblang di desa Bakungan dan Olehsari. Pada desa Bakungan penari Seblang adalah wanita berusia 50 tahun ke atas yang sudah mengalami menopause. Sedangkan di Olehsari penari Seblang adalah gadis belia yang belum akil balig.
Selain itu, di Bakungan Seblang dilaksanakan pada bulan Dzulhijah atau hari kedua Idul Adha. Sedangkan di Olehsari dilaksanakan setelah perayaan hari raya Idul Fitri. Pada dasarnya masyarakat beranggapan Seblang merupakan ritual penyucian sehingga penaripun harus suci.
Memaknai setiap simbol yang ada pada upacara adat Seblang dilakukan Asha dan tim. Hal ini untuk mengungkap nilai-nilai filosofis yang dapat menjadi pedoman solidaritas sosial bagi warga Banyuwangi.
“Di sana juga bertemu dengan budayawan dan pelaku budaya yang masih memegang teguh dan merawat budaya dan sinergitas antara masyarakat, pelaku budaya, serta pemerintah sangat baik dalam menjaga ketahanan budaya,” terangnya.
Dalam melakukan penelitian ini mereka juga mengalami kendala. Perbedaan bahasa yang digunakan antara Asha dan tim dengan masyarakat Banyuwangi. Penggunaan bahasa Osing yang masih kental harus membuat mereka menggunakan perantara saat melakukan wawancara.
Masyarakat Banyuwangi yang terkenal berbudaya bahkan merespon dengan baik atas penelitian yang mereka lakukan. Masyarakat Banyuwangi juga memberikan kesempatan bagi siapapun yang ingin belajar mengenai budaya Banyuwangi. Hasil yang didapat dari penelitian ini yaitu Model strategi Cultural Resilience Menghadapi Globalisasi Budaya.
Advertisement