Menjaga Harapan dan Seorang Pemabuk, Kisah Gus Ghofur Maimoen
Salah satu alasan kenapa kita tidak boleh sombong kepada para pendosa adalah karena kita tidak tahu akan seperti apa masa depan dia. Boleh jadi, beberapa waktu ke depan dia justru jauh lebih mulia daripada kita.
Masa depan adalah rahasia Allah SWT., tak satupun yang tahu kecuali Dia sendiri.
Dalam hal ini, Syekh Muhammad Ramaḍān Al Būṭī dalam Syarḥ Al Ḥikam mengutip QS. Asy Syūrā/42: 13:
الله يجتبي إليه من يشاء ويهدي إليه من ينيب
“Allah memilih orang yang Dia kehendaki pada (agama)-Nya dan memberi petunjuk pada (agama)-Nya bagi orang yang kembali (kepada-Nya).”
Pada penggalan pertama, Allah SWT. menjelaskan mengenai sejumlah orang yang Dia kehendaki untuk menjadi orang-orang pilihannya. Tidak ada yang dapat mendikte kehendak Tuhan. Boleh jadi, Dia justru memilih dari kalangan para pendosa.
Sementara penggalan kedua berbicara mengenai apa yang lazim terjadi, yakni Allah WT. akan memberi petunjuk kepada mereka yang berkeinginan kembali kepada-Nya.
Hal ini juga berkaitan dengan kewajiban—terutama kepada para ulama—agar terus memberi harapan, bahwa siapapun bisa menjadi kekasih Allah, termasuk para pendosa. Jangan ada di antara kita yang jatuh dalam kubangan putus asa. Tanamkan terus menerus pada diri kita, bahwa kita semua bisa menjadi orang baik-baik.
Kisah Seorang Pemabuk
Abdullah bin Maslamah al-Qa’nabī adalah seorang pemuda “gila” yang sering mabuk. Ia acap dikelilingi oleh muda-muda (amrad). Suatu hari ia mengundang mereka. Ia pun duduk menunggu di pintu.
Syu’bah bin Al Ḥajjāj dengan menunggang keledai lewat di depannya. Al Qa’nabī berupaya memberhentikannya. Santri-santri di belakang Syu,bah berlarian menjaganya.
“Siapa dia ini?” kata Al Qa’nabī.
“Syu’bah!” kata sebuah jawaban.
“Apa Syu’bah itu?” tanya dia lagi.
“Ahli Hadis (Muḥaddiṡ).”
Al Qa’nabī, dengan memakai sarung merah, menghadap kepadanya.
“Sampaikanlah Hadis kepadaku!” kata Al Qa’nabī.
“Kamu bukan kelompok Ahli Hadis .. Saya tidak bisa meriwayatkan sebuah Hadis kepadamu.” jawab Syu’bah.
Al Qa’nabī mengancam, dia menghunus pisaunya.
“Sampaikan hadis kepadaku, atau aku akan melukaimu!”
Syu’bah pun meriwayatkan sebuah hadis kepadanya, Mansur bercerita kepadaku, dari Rib’ī, dari Ibn Mas’ūd ra., ia mengatakan, bahwa Rasulullah bersabda: “Jika engkau tak punya rasa malu, lalukan apa saja yang engkau inginkan!”[1]
Al Qa’nabī melempar pisaunya dan kembali ke rumah. Ia menumpahkan semua minuman keras yang dia punya. Kata dia kepada ibunya, “Ini saatnya sahabat-sahabatku datang. Persilahkan mereka masuk ke rumah. Hidangkan makanan kepada mereka. Jika telah usai makan, kabarkan kepada mereka apa yang saya lalukan terhadap minuman-minumanku tadi hingga mereka pulang.” Saat itu juga Al Qa’nabi berangkat ke Madinah.[2]
Di Madinah, Ia bermulazamah kepada Imam Malik bin Anas selama 30 tahun. Ia adalah salah satu perawi utama Imam Malik, bahkan ia merupakan perawi terpercaya Kitab Al Muwaṭṭa`-nya. Ibn Abī Ḥātim (dia dan ayahnya adalah kritikus kelas wahid terhadap para perawi) bertanya kepada ayahnya, Abū Ḥātim, “Siapa yang lebih engkau sukai, Al Qa’nabī atau Ismail bin Abī Uwais?” Abu Ḥātim menjawab, “Al Qa’nabī. Saya tidak pernah melihat orang yang lebih khusyuk melebihi dia.”[3]
Kisah dan Perang
Sa’d bin Abī Waqqāṣ sedang memimpin Perang Al Qādisiyyah (Sya’ban 15 H./November 636 M.). Seorang pemabuk bernama Abū Miḥjan dihadapkan kepadanya. Ia memerintahkan agar dia diborgol. Saat itu, Sa’d sedang terluka. Ia tidak bisa memimpin pasukan secara langsung. Ia naik ke bukit Użaib di Kufah untuk memantau perjalanan perang. Pasukan kuda ia serahkan kepada Khālid bin ‘Urfuṭah.
Peperangan sedang berkecamuk. Abu Miḥjan membujuk istri Sa’d, Ibnah Khaṣafah, agar berkenan melepaskannya, “Lepaskan diriku. Saya berjanji, jika saya selamat saya akan balik dan meletakkan kakiku pada borgol kembali, dan jika saya terbunuh kamu semua akan tenang!. Perempuan itu melepaskannya. Dia melompat ke atas kuda Sa’d yang bernama Balqā, lalu mengambil tombak. Ia memasuki medan pertempuran. Tiap sisi medan musuh dia serang, akan segera terkalahkan. Orang-orang mengira, dia adalah “malaikat”. Sa’d yang memantau dari jauh membatin, “Melihat ketabahannya itu adalah Kuda Balqā
, dan melihat gaya menusuknya itu adalah tusukan Abū Miḥjan. Akan tetapi, Abū Miḥjan sedang diborgol.”
Musuh telah terkalahkan, Abū Miḥjan kembali ke tempatnya dan meletakkan kedua kakinya pada borgol. Ibnah Khaṣafah, sang istri, mengabarkan kepada Sa’d, sang suami, atas apa yang terjadi pada Abū Miḥjan. Sa’d pun berkata, “Demi Allah saya tidak akan memukul (menghukum dengan pukulan) seorang lelaki yang merupakan anugerah Allah kepada umat Islam.” Dia melepaskannya. Sejak saat itu, Abū Miḥjan tak lagi meminum arak. Bagi dia, hukuman had adalah penyuci diri dari dosa-dosanya. Jika ia minum dan tak dihukum had, maka jalan satu-satunya untuk membersihkan diri adalah dengan tidak lagi meminumnya.
“Dahulu, saya meminumnya saat saya harus dihukum had karenanya. Saya pun tersucikan darinya. Sekarang, engkau (wahai Sa’d) justru membebaskanku (dari had itu). Maka, tidak .. demi Allah, saya tidak akan meminumnya lagi untuk selama-lamanya ..” demikian janji Sa’d. [4]
Kita adalah pendosa. Semoga Allah SWT. mengulurkan pertolongannya agar kita semua bisa kembali ke jalannya. Aamiin yaa Rabbal ‘aalamiin ... (KH Abdul Ghofur Maimoen)
Catatan
[1] Al Imām Al Bukhārī, jilid 4, hal. 177.
[2] Ibn Al Abār Al Quḍā’ī, Mu’jam Aṣḥāb al Qāḍī Abī ‘Alī Aṣ Ṣadafī, hal. 144.
[3]Syams Ad Dīn Aż Żahabī, Siyar A’lām an Nubalā`, jilid 10, hal. 259
[4] Sa’īd bin Manṣūr, Sunan Sa’īd bin Manṣūr, Kitāb al Jihād, jilid 2, hal. 235; Ibn Abī Syaibah, Al Muṣannaf, jilid 6, hal. 550.