Menjadikan Surabaya Singapura-nya Indonesia
Praktisi komunikasi di Jakarta Tofan Mahdi menuliskan catatan perjalanannya di Singapura. Berikut tulisan dia yang dikirim ke ngopibareng.id.
Judul ini mungkin membuat kita turun gengsi, malu ah, negara sebesar Indonesia koq mau dbandingkan dengan negara yang besarnya hanya seperempat Jakarta. Tapi kalau kita membuka data dan melihat fakta objektif di negeri jiran tersebut, banyak hal yang membuat kita harus mengakui: saat ini Singapura masih lebih baik dari Indonesia. Tetapi kalau kita mau, dengan kemauan yang sungguh-sungguh tentu saja, kita bisa menyalip mereka. Dan Surabaya, menurut saya pribadi, adalah kota di Indonesia yang paling siap menjadi “Singapura”-nya Indonesia.
Kepedean ya? Bukan karena di Surabaya sudah ada patung Singa terus disebut paling siap melawan Singapura 😊, tetapi prasyarat dasar untuk menjadi sebuah kota yang modern telah dimilki Surabaya. Hanya perlu polesan fisik sedikit, komitmen pemerintah daerah yang didukung pusat, dus masyarakatnya mau diajak naik kelas untuk maju menjadi masyarakat negara maju. Dan Arek Suroboyo pasti iso (bisa). Iso ora isu kudu iso (bisa tidak bisa harus bisa).
Kita yang pernah atau memang tinggal di Surabaya harus mengakui, dalam 10 tahun terakhir Surabaya telah berubah. Totally changed. Berubah ke arah yang lebih baik. Saya sudah mengunjungi semua ibukota provinsi di seluruh Indonesia (selain Papua dan Papua Barat karena belum pernah berkunjung ke dua provinsi tersebut), dan saya berani katakan Surabaya adalah kota terbaik di Indonesia. Paling bersih, tertata rapi, modern, dan memiliki partisipasi publik yang tinggi untuk mendukung Surabaya menjadi kota yang baik. Tidak ada ibukota provinsi lain sebaik Surabaya. Kalau ada kota terbaik kedua di Indonesia, tapi kota ini bukan ibukota provinsi, yaitu: Balikpapan, Kalimantan Timur. Seperti halnya Surabaya, Balikpapan juga bersih, rapi, dan relatif tertib. Namun dengan beban jumlah penduduk yang jauh lebih besar, Surabaya layak dipilih sebagai yang terbaik.
Surabaya, seperti halnya Singapura, adalah kota bisnis dan perdagangan. Karena itu, sudah seharusnya dalam pengembangan kotanya ke depan, Surabaya memfokuskan programnya sebagai kota yang ramah investasi sehingga menjadi jujugan utama para pelaku bisnis ketika akan mengembangkan usahanya di Indonesia. Didorong lebih banyak masuknya investor yang meng-generate dampak multiplier bagi perekonomian. Jasa (pelayanan) investasi harus beyond excellent, sehingga ada alasan kuat dunia usaha akan datang ke Surabaya instead of ke Jakarta misalnya.
Masih terkait bisnis, saat saya masih aktif sebagai wartawan Ekonomi Bisnis di Jawa Pos sekira 20 tahun lalu, saya sudah sering mendengar bahwa Surabaya akan menjadi kota MICE (meeting, incentive, convention, and exhibition). Pertanyaannya sekarang, setelah lebih 20 tahun, apakah Surabaya sudah menjadi kota utama untuk MICE di Indonesia? Saya yakin belum. Saya yang masih terlibat aktif sebagai salah satu panita sebuah konferensi bisnis berskala internasional, jujur belum menjadikan Surabaya sebagai pilihan. Banyak alasannya. Convention hall yang besar, hotel bintang lima yang memadai, dan kesiapan teknis lain terkait penyelenggaraan sebuah konferensi berskala dunia. Pilihannya tetap dua: Jakarta atau Bali. Karena peserta dari Jakarta pada keberatan jika konferensi diadakan di Jakarta, akhirnya kami memilih Bali. Pernah dua kali kami selenggarakan di Bandung, tetapi para pembicara dan peserta dari luar negeri, meminta kami kembali ke Bali. MICE adalah potensi dari kota Surabaya yang belum tergali.
Untuk pariwisata, belajar dari Singapura, Surabaya tidak perlu berharap pada potensi pariwisata yang given. Dibuat saja dengan ide-ide yang super kreatid dan kolosal. Uangnya dari mana? Kalau konsepnya bagus, investor akan datang. Yang sudah ada dimaksimalkan. Kebun Binatang Surabaya, sejak zaman saya sekolah sampai sekarang, tampaknya dikelola begitu-begitu saja. Mengapa tidak dibuat menjadi atraktif, ada night zoo-nya dan lain-lain. Saya lebih sering membaca seputar KBS lebih tentang hewan-hewannya yang tidak dipelihara dan diberi makan dengan baik. Tidak ada positive news tentang KBS, terus kita berharap ada turis dari mancanegara mau datang? Mimpi di siang hari.
Terkait pelayanan publik, saya belum tahu, bagaimana pelayanan publik di Suranbaya. Tetapi seharusnya pembangunan pelayanan kepada masyarakat menjadi prioritas pertama dan utama di atas pembangunan fisik semata. Apakah birokrasi di Surabaya sudah pada tahap kesadaran bahwa mereka adalah pelayan masyarakat (public servant) dan bukan tukang perintah yang minta dilayani? Ini adalah prioritas.
Jika hal-hal di atas bisa dilakukan secara sinergis, maka kita akan melihat sebuah kota yang tidak saja maju dan modern tetapi juga sebuah kota dengan masyarakat yang beradab. Soal peradaban ini, jujur Indonesia masih berada pada ranking bawah. Sebgaian besar masyarakat kita belum beradab. Padahal itu adalah amanah sila kedua Pancasila: kemanusiaan yang adil dan beradab. Bagaimana masyarakat bisa beradab kalau pemimpin publik (birokrasi)-nya juga tidak beradab. Lalu lintas di jalan adalah indikator paling kecil untuk melihat peradaban sebuah bangsa. Dalam konteks ini, baik Surabaya maupun kota-kota lain di Indonesia, harus bisa belajar dari kota-kota di negara maju lainnya: Singapura, Tokyo, Seoul, Doha, Dubai, Abu Dhabi, Zurich, Oslo, dan banyak kota lain di dunia.
Dan Surabaya bisa menjadi pioneer serta contoh kemajuan dan peradaban bangsa Indonesia. Semoga. Salam dan Selamat Hari Pahlawan. (tofan.mahdi@gmail.com)
*Tofan Mahdi, Wakil Pemimpin Redaksi Jawa Pos (2007) & Pemimpin Redaksi SBO TV (2008-2009). Penulis buku “Pena di Atas Langit” dan saat ini menjadi praktisi komunikasi di Jakarta.