Menjadi Santri, Abdul Mu’ti: Itu Tak Perlu Didikotomi
Garut: Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti mengatakan bahwa saat ini Pondok Pesantren di Indonesia telah memiliki banyak perubahan. Namun perubahan yang terjadi tidak lah meninggalkan lima hakekat kelebihan pesantren.
Santri, lanjut Mu’timerupakan kategori religuitas dari sebuah komunitas yang memiliki khas dengan kepesantrenan. Yang mana akhir-akhir ini kemudian santri telah menjadi kelompok komunal yang dianggap sebagai bagian dari kelompok tertentu.
“Ada pergeseran seperti itu. Ini mengalami reduksi, sehingga seharusnya santri itu tidak perlu dikotomi,” ungkap Mu’ti dalam acara Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Lembaga Pengembangan Pondok Pesantren Muhammadiyah (LP3M) pada Selasa (17/10/2017) yang bertempat di Pondok Pesantren Darul Arqam Muhammadiyah.
Mu’ti mengatakan, saat ini dikotomi antara tradisionalis dan modernitas sudah hampir punah. Hal ini terjadi sejalan dengan perkembangan dunia pendidikan.
“Melalui pendidikan maka potensi untuk menghaluskan sekat antara konotasi pesantren yang buruk dapat terjawab,” ungkap Mu’ti.
Selain itu, Mu’ti juga mengatakan bahwa seorang santri harus punya keunggulan dalam kesalehan dalam beragama.
“Santri sholat terus itu biasa, tapi harus punya kelebihan yang lain. Santri harus menguasai Al-Quran. Santri juga harus mempunyai kekuatan dari sisi kepribadian, ciri-ciri tersebut harus melekat pada santri,” tegas Mu’ti.
Pesantren berkemajuan harus mampu menjawab banyak stereotip pada santri. Maka dengan itu Pesantren Muhammadiyah harus punya keunggulan, jika tidak maka keunggulan Muhammadiyah dalam pesantren tidak akan dipilih.
“Pesantren menjadi instansi unggulan yang harus punya kelebihan dibanding sekolah biasa. Pesantren Muhammadiyah harus tetap terintegrasi dengan sekolah-sekolah maju sehingga bisa melahirkan generasi agamis yang juga punya intelektual,” terang Mu’ti.
Pesantren Muhammadiyah juga harus mampu membentuk santri yang paham persoalan agama namun tetap bisa mengkaji ilmu-ilmu modern, menjadi ulama yang intelek dan intelek yang ulama.
“Pesantren juga harus menjadikan santri yang punya keterampilan, sehingga bisa mendorong santri terjun ke dunia kerja. Skill harus ada dan harus mendapat pengakuan. Sehingga lulusan pesantren punya kesempatan lebih besar untuk tampil memimpin, baik memimpin agama maupun memimpin Negara,” tutup Mu’ti. (adi)