Menjadi Perempuan Berdaya dan Bahagia
Artikel
oleh Eva Sundari
Menjadi perempuan bukan pilihan, tetapi menjadi berdaya dan bahagia adalah pilihan politik yang disepakati perempuan anggota Perempuan Penulis Padma atau Perlima. Ketika diundang bergabung ke Perlima, saya langsung mau karena ada kebutuhan dan suka pada tagline yang saya anggap sekaligus misi Perlima tersebut.
Pilihan misi tersebut cerdas dan cadas karena bahagia adalah tujuan paripurna di SDGs yang berbasis HAM. Cadas karena berdaya adalah kunci mewujudkan bahagia. Ketua Perlima, Kak Wilis, meyakini kalau anggota Perlima bisa (berdaya) membuat tulisan yang bagus maka ia akan bahagia karena telah melahirkan suatu karya.
Di alam Pancasila, subordinasi perempuan (dan kelompok minoritas lainnya) adalah praktik tidak manusiawi. Setiap manusia bermartabat sama, sehingga berkesetaraan adalah kodrat yang harus diperjuangkan setiap warga laki dan perempuan karena itu merupakan janji konstitusi sekaligus janji semua agama dan keyakinan manusia.
Sila 2 Pancasila yang inklusif menegaskan kesetaraan ini bukan saja lintas SARA tapi juga gender. Adanya satu sayap Garuda yang patah atau lemah, akan melumpuhkan Garuda untuk terbang. Sukarno (1947) bicara bahwa perempuan dan laki tidak bisa saling meniadakan karena keduanya esensial dalam proses penciptaannya, yaitu bergabungnya sel telur dan air mani.
Perempuan harus bisa mengorganisir diri dalam prinsip sisterhood untuk mengejar ketertinggalan sekaligus menunjukkan kelebihan mereka termasuk melakukan re-definisi ulang konsep-konsep yang bias laki-laki. Misalnya, mengapa perempuan dikatakan lemah padahal angka harapan hidup perempuan lebih panjang dari laki-laki? Padahal pula, peluang hidup bayi perempuan lebih tinggi dari bayi laki-laki? Faktanya perempuan lebih kuat (bertahan hidup) dari laki-laki.
Kyai Nasarudin Umar ikut meminta re-definisi nabi dan rasul seharusnya berlaku pula untuk perempuan karena setidaknya ada 8 perempuan yang didatangi Jibril, antara lain: Ibu Nabi Musa, Maria, Sarah, adik Umar Bin Khatab. Para ulama pun terbelah soal ini, setidaknya ada yang mendukung pendapat ini.
Meski perempuan adalah pencipta peradaban (pembuat hukum bidang tanaman dan keturunan), tetapi kemudian menjadi anak tiri peradaban yang telah dibajak para laki-laki. Mitos-mitos berisi subordinasi perempuan diciptakan dan dilanggengkan secara sistematis berikut praktik-praktik diskriminatif untuk justifikasi mitos kelemahan perempuan. Mulai di pendidikan, pengajaran agama, ekonomi, politik, sosial apalagi keamanan dan militer.
Hasilnya kasat mata, ketimpangan gender di semua sektor kehidupan. Bahkan ketika 20 tahun lalu sudah ada kebijakan integrasi strategi Pengarusutamaan Gender dan Penganggarannya dalam Pembangunan, data UNDP terakhir (2021) menunjukkan ketimpangan gender justru melebar. Ini ironi yang menyesakkan.
Perempuan merupakan separuh penduduk bumi, tetapi keberadaannya tidak tampak di mata karena hampir tidak bersuara bahkan untuk hal yang menentukan nasibnya. Kuasa atas pikiran, kata dan tubuhnya pun sudah diserahkan kepada para pria pemimpin dan pelindung mereka yang justru sering memperdayai dirinya.
Wina Bojonegoro, founder Perlima, percaya perempuan harus bersuara dalam tulisan sehingga ekspresi diri para perempuan tertata. Kuantitas menentukan kualitas. Semakin banyak mengasah pikiran dan tangan, makin tajam pena para perempuan untuk mempengaruhi keadaan termasuk nasibnya.
Wina Bojonegoro percaya, para perempuan kunci perubahan nasib bangsa. Perempuan yang berdaya akan bisa membuat kemajuan diri, keluarga, bangsa, dan bahkan dunia karena partisipasi perempuan kunci keberlanjutan kehidupan. Demikian pula keyakinan PBB dalam mewujudkan kebahagiaan dunia melalui strategi SDGs berupa penghapusan kemiskinan, kelaparan, kebodohan, kerusakan bumi bahkan untuk menciptakan perdamaian dunia. Kesetaraan perempuan essensial untuk mewujudkan 10 dari 17 target-target SDGs.
Keberadaan Perlima dibuktikan dengan penerbitan buku-buku hasil belajar bersama para anggotanya yang baru belajar menulis maupun yang sudah profesional. Keduanya melebur saling menguatkan dalam gesekan-gesekan selama kurasi bersama draft-draft tulisan yang hendak dibukukan. Mekanisme quality control yang ketat ini sesungguhnya bentuk pemberdayaan mental, spiritual, kognitif, afektif terutama ketrampilan teknis menulis para anggota.
Sebagai anggota, saya sendiri kaget dengan paket lengkap yang disediakan Perlima dan Penerbit Padmedia. Judulnya memang kursus menulis online, tetapi isinya termasuk praktek ketrampilan kurasi, mendesain buku, menerbitkan hingga memasarkannya. Sudah kelar? Belum.
Saat launching dan memasarkan buku, adalah saat berpesta bagi para perempuan Penulis Perempuan Padma, kata Wina Bojonegoro. Para penulis ini mengelola beberapa acara sekaligus menjadi moderator, narasumber, pembuat konsep dan konten-tonten kreatif, hingga menghubungi para pendukung acara mulai sastrawan hingga media. Inilah praktek gotong royong yang sangat produktif.
Keberadaan Perlima telah menjadi godaan sensasi intelektual. Para penulis Perlima sudah diundang oleh Dalang Publisher yang berkantor di Amerika untuk berpartisipasi menulis dalam buku antologi cerpen yang akan diterbitkan di sana setelah melalui proses kurasi.
Proses pemberdayaan para anggota yang terbuka bagi publik telah menarik perhatian para pengajar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya untuk obyek penelitian. Perlima tentu saja menyambut baik dan bahkan menawarkan pelembagaan yang saling memberdayakan dua pihak. Ini strategi kolaborasi yang fair dan cerdas menurut saya. Jika tak ada aral melintang, Perlima juga akan menjadi bagian dari acara Indonesia International Book Fair yang akan dihelat sebentar lagi.
Dalam filosofi timur, kebahagiaan itu tidak hanya cukup aspek material, tetapi justru intinya di spiritual. Kebahagiaan akan terwujud ketika kita mengenal jati diri (sehingga mengenal Tuhan), kata ajaran Theosufi termasuk Al-Ghazali. Namun, menjadi bahagia memerlukan kapasitas dan kompetensi (kecerdasan) diri serta dukungan lingkungan.
Saya senang bergabung di Perlima karena syarat-syarat itu hampir bisa dipenuhi. Ada riset yang menemukan bahwa creative writing bisa meningkatkan IQ kita sehingga kapasitas kita untuk bahagia akan terus meningkat. Selain itu, lingkungan yang akan dibangun pengurus juga akan kondusif karena akan banyak party-party yang mencerdaskan para anggota. Nah, ada push dan pull faktor yang lengkap, pilihan tinggal di para perempuan mau enggak rajin menulis agar bahagia selalu?
Nganjuk, 14/10/21 - DS