Menjadi Pembeda, Ini Beragama yang Mencerahkan
Muhammadiyah sebagai gerakan pencerahan wajib memberikan pembeda di dalam gerakan mu’amalah, termasuk politik. Demikian tegas Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti dalam keterangan diterima ngopibareng.id, Selasa 16 April 2019.
Mu’ti memberi penegasan terutama sebagai pesan kepada warga Muhammadiyah yang menurutnya terbawa euphoria gelaran tahun politik 2019 untuk menyadari posisinya dan kembali ke khittah Muhammadiyah.
Sebelumnya, ia mengungkapkan dalam Pengajian Rutin Bulanan PP Muhammadiyah di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah Jakarta, Jumat 12 April. Dalam pengajian yang membawa tema “Beragama yang Mencerahkan”.
“Tema ini sengaja kita angkat karena dalam kurun waktu tiga sampai empat bulan ini energi kita tersedot ke wilayah politik sehingga seakan terkuras di situ. Polarisasi (di Muhammadiyah) ternyata tidak jauh beda dengan ormas lainnya. Warga Muhammadiyah yang selama ini dinilai rasional ikut militan juga dalam arus politik,” ujarnya.
“Beragama yang mencerahkan adalah fitrah kita, sehingga harus disegarkan karena kita tidak berangkat dari apologi dan utopia, tapi dari realita. Selain Jas Merah, kita perlu Jas Hijau, jangan sama sekali menghilangkan jasa ulama...."
Menurut Mu’ti, polarisasi semacam itu tidak seharusnya terjadi di dalam Muhammadiyah. Sebab menurutnya, permasalahan politik hanyalah bagian dari ijtihad di dalam masalah muamalah dan bukan masalah akidah yang prinsip. Malah menurutnya, Muhammadiyah sudah sepantasnya tampil berbeda di dalam pilihan dan tidak terpecah-belah.
“Di dalam Al Quran banyak teguran apakah sama orang buta dengan yang bisa melihat, apakah sama orang yang berilmu atau tidak. Maka, di Muhammadiyah apakah sama yang mencerahkan dengan yang tidak. Pencerahan ini harus menjadi suluh dan pemandu, bagaimana bersifat Islami dan tetap dalam khittah atau garis lurus,” imbuh Mu’ti.
Sementara itu, narasumber lainnya Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nurwahid menyampaikan bahwa dalam konteks beragama yang mencerahkan adalah bersifat adil dalam pikiran dan perbuatan.
“Seringkali kita meneriakkan Jas Merah, jangan sama sekali melupakan sejarah tetapi sambil melupakan jasa dan peran umat Islam, baik dari ormas maupun perorangan. Termasuk jasa dan peran umat Islam dalam menyelamatkan Indonesia, Pancasila, dan NKRI seperti Ki Bagus Hadikusumo, Kyai Hasyim Asy’ari, bahkan Ketua Masyumi Mohammad Natsir,” sindir Hidayat.
“Beragama yang mencerahkan adalah fitrah kita, sehingga harus disegarkan karena kita tidak berangkat dari apologi dan utopia, tapi dari realita. Selain Jas Merah, kita perlu Jas Hijau, jangan sama sekali menghilangkan jasa ulama. Yaitu menyegarkan kembali ingatan atas jasa-jasa penting umat Islam. Kesediaan ta’awun dan bersama-sama alal birri wa taqwa dan tidak egois dalam perjuangan inilah bentuk beragama yang mencerahkan,” kata Hidayat. (adi)
Advertisement