Menimbang Keadilan, Kemelut Pasca Pencoblosan
Setelah desakan dari kalangan akademisi dan gerakan mahasiswa kampus, kini muncul gerakan senafas yakni Forum Penyelamat Reformasi dan Demokrasi (FPRD) yang terdiri dari purnawirawan TNI dan POLRI, intelektual, budayawan dan tokoh masyarakat. Dalam pernyataannya FPRD menyimpulkan terjadinya kecurangan-kecurangan yang terstruktur, sistemik dan masif (TSM) dalam Pemilu 2024.
Di samping itu pemerintah dianggap melakukan abuse of power dan ketidaknetralan dengan melakukan intervensi terhadap Mahkamah Konstitusi, KPU dan Bawaslu, pengarahan ASN, kepala dan perangkat desa dan intimidasi pilihan rakyat yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Pada saat yang sama, pemerintah kini juga akan menghadapi Angket di parlemen tentang isu yang sama, soal Pilpres dan Pemilu 2024.
Setumpuk persoalan politik yang berat harus dihadapi oleh Presiden yang akhir-akhir ini dielu-elukan sebagai super power atau orang kuat, suatu jenis kultus ala Indonesia zaman mutakhir. Situasi dan kondisi yang dihadapi oleh Presiden Jokowi saat ini mirip dengan situasi menjelang runtuhnya kekuasaan Presiden Soeharto yang mendapat prediket sebagai Bapak Pembangunan -- pada masanya.
Jelang Orde Baru Jatuh
Ceritanya, sehari sebelum Presiden menyerahkan kekuasaan kepada Wapres B.J. Habibie, atasan langsung kami seorang pejabat Eselon I BAKIN mengajak saya main golf di Halim Dua bersama beberapa Eselon I lainnya termasuk Kepala BAKIN. Saya ketika itu masih Eselon II dan mohon izin tidak bisa ikut karena alasan sakit, padahal sebenarnya sehat. Saya memberi masukan kepada Pak Deputy tentang situasi polkam yang sedang tidak baik-baik saja yang dalam bahasa rakyat biasa (grassroot), situasi saat itu seperti “padang rumput kering” yang kalau dilempar puntung rokok langsung terjadi kebekaran besar.
Atasan saya lalu minta penjelasan singkat karena beliau akan mendahului ke lapangan golf sebelum Kepala BAKIN tiba. Saya jelaskan bahwa selama sekitar sebulan saya bersama Pak Iskandar, teman sejawat yang bertanggung jawab atas analisis ipoleksesbudmil dalam negeri, keliling setiap malam dengan cara nongkrong di warung makan terutama dipinggir jalan atau warung kaki lima. Tujuannya untuk menyelami pikiran dan hati masyarakat secara langsung. Satu malam rata-rata tiga kedai kami datangi.
Keluh kesah dan segenap kesulitan itu saya mengambil kesimpulan bahwa situasi dan kondisi sudah diluar kemampuan aparat keamanan termasuk intelijen. Ibaratnya, kemarahan rakyat sudah sampai ke leher. Presiden Soeharto yang demikian perkasa telah kehilangan legitimasi atau kepercayaan rakyat, selain semakin memburuknya keadaan sosial - ekonomi dan juga tekanan politik dalam dan luar negeri sebagai dampak dari krisis moneter regional.
Bapak Deputy mengatakan agar kami berdua jangan terlalu khawatir berlebihan, karena KABIN juga mendapat laporan dari jajaran samping maksudnya intelijen ABRI. Kami berdua berusaha meyakinkan atasaan saya bahwa keluh kesah diwarung kaki lima tersebut diperkuat dengan sumbangan laporan “sumber sumber informasi yang berada di dalam gerakan kanan-kiri -- semi agamis tentang adanya hasrat kuat dan bahkan persiapan aksi menentang Korupsi - Kolusi - Nepotisme (KKN). Saya dan Pak Iskandar berusaha meyakinkan atasan bahwa dalam situasi ketidaksenangan terhadap ABRI yang dianggap pendukung sangat kuat terhadap Pak Harto pada saat itu, tidak mudah bagi intel militer mendapat sumber informasi yang kredibel dari kalangan pemuda dan mahasiswa.
Sebaliknya Pak Iskandar sebelumnya adalah aktivis, tahun 1965 sekretaris GP Ansor Wilayah Yogya, sedangkan saya selain pernah aktif di Ansor saat SMA, PMII, HMI ketika mahasiswa di UGM, juga Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI) sehingga relatif mudah mendapat simpati para aktivis gerakan. Apa yang terjadi..., sehari kemudian ledakan massa aksi pembakaran dimulai dengan beberapa “toko Goro- milik Tomy Soeharto", kemudian penjarahan dan pembakaran supermarket lainnya dan akhirnya Pak Harto menyerahkan kekuasaan kepada Wapres B.J. Habibie.
Kehadiran FPRD dalam situasi gamang yang dihadapi pemerintah, kiranya merupakan suatu momentum yang tepat bagi Presiden Joko Widodo, semestinya lebih sensitif untuk mengambil kebijakan yang konstruktif dan proporsional untuk mencegah meledaknya potensi kerusuhan seperti pada 1998. Mengikuti desakan masa yang menuntut digelarnya hak Angket, bahkan tuntutan pemakzulan yang makin meluas, serta segenap intrik yang muncul di kalangan para pejabat yang makin terbuka menyangkut akan digelarnya Angket di parlemen, dimana semua hal itu akan menimbulkan “kemarahan Rakyat” yang mungkin akan makin sulit diantisipasi.
Melihat semua perkembangan tersebut yang terus makin meningkat itu, dan mengingat pelajaran runtuhnya Orde Baru maka sebaiknya Presiden Jokowi mempertimbangkan alternatif - alternatip yang lebih masuk akal, di antaranya bisa mengundurkan diri seperti langkah yang diambil oleh Pak Harto atau mengambil cuti. Atau berkompromi dengan parlemen untuk memperoleh jalan keluar yang lebih kondusif bagi kepentingan bangsa dan negara.
DR KH As'ad Said Ali
Pengamat sosial politik, Mustasyar PBNU periode 2022-2027, tinggal di Jakarta.