Menilik Perpustakaan Medayu Agung yang Bersejarah
SURABAYA - Bangunannya sederhana, berpagar besi dengan cat biru. Tampak seperti rumah biasa. Namun, jangan menilai sesuatu hanya dari luar saja, begitu pepatah berkata. Tempat tersebut menyimpan berbagai buku, koran, dan majalah-majalah tempo dulu. Ya, Perpustakaan Medayu Agung, yang diprakarsai oleh Oei Him Hwie.
Ketika memasuki pintu, disebelah kanan terdapat foto Soekarno, Presiden pertama Indonesia, dibingkai dengan pigura berukuran besar. Kemudian, disebelah kiri terdapat sebuah etalase berisi berbagai macam pernak-pernik serba Soekarno. Salah satu yang paling berharga ada sebuah arloji berwarna emas dengan kesan klasik namun mewah, pemberian Soekarno untuk Oei Him Hwie saat ia melakukan wawancara dengan Soekarno. Dahulu, Oei adalah seorang wartawan surat kabar ternama.
Kembali melangkahkan kaki, tak jauh dari pigura foto Soekarno, sudah terlihat rak-rak buku berukuran besar dan tinggi. Rak buku tersebut berisi klipingan koran dan majalah terbitan 1981 hingga sekarang. Total koleksi yang dimiliki Perpustakaan Medayu Agung kini mencapai 25.000 juga tak menutup kemungkinan akan terus bertambah seiring dengan bertambahnya pula donatur-donatur yang menyumbangkan bukunya.
Tak hanya koran dan majalah, Perpustakaan Medayu Agung juga mengarsipkan berbagai buku-buku kuno. Misalnya saja koleksi buku Oud Batavia, Oud Surabaia, Oud Malang, buku sejarah Raja Madura dalam bahasa Perancis, dan masih banyak lagi.
Masih berada di lantai satu, koleksi buku Perpustakan Medayu Agung terbagi menjadi dua ruang. Yakni, ruang koleksi khusus dengan fokus utama subyek sejarah, naskah asli milik Pramoedya Ananta Toer, Soekarno, juga menyoal pembauran dan integrasi etnis Tionghoa di Indonesia. Ruang kedua yakni koleksi langka, yang mencakup buku-buku kuno terbitan pertengahan abad 19 hingga awal abad 20, dalam bahasa Belanda, Inggris, Melayu dan Jerman yang kini mulai sulit ditemukan.
Menapakkan kaki menuju lantai dua, menyusuri anak tangga, di dinding-dinding ber cat putih terdapat banyak foto-foto Soekarno. Benar saja, Oei memang sangat menggemari presiden pertama RI tersebut.
Sesampai di lantai dua, akan lebih banyak lagi ditemukan bendel-bendel majalah dan koran yang dibungkus rapi dengan plastik. Beberapa butir kapur barus diselipkan didalamnya. Ada satu komputer di sudut ruangan untuk digitalisasi katalog. Akan membutuhkan waktu yang lama jika ingin menyelami lautan koleksi sejarah di Perpustkaan Medayu Agung.
Hwie Muda adalah seorang wartawan surat kabar Terompet Masjarakat dan sempat beberapa kali berhasil melakukan wawancara eksklusif dengan Presiden Soekarno. Hal itu menjadi kebanggaan tersendiri baginya. Namu tak berlangsung lama, ketika meletusnya tragedi G30S. Hwie diringkus oleh aparat karena disangka anggota PKI. Saat itu, koleksi buku dan koran miliknya turut dirampas untuk dilenyapkan. “Pas saya ditangkap, banyak buku-buku dan koran dibakar di alun-alun kota. Kata’ne mbakar dokumen PKI,” ucap Kakek berusia 86 tahun ini.
Namun, Hwie masih memiliki buku dan koran yang tersimpan di kediamannya, di Malang. “Oleh adek saya disimpen, taruh ndek loteng rumah. Ditutupi papan, ditoto,”. Benar saja, lima hari setelah ditangkapnya Hwie, aparat kembali menggeledah rumahnya untuk mengambil buku dan koran yang tersisa. “Nggak ada, sudah dibakar semua. Wong wes bapak ambil,” tegasnya Adik Hwie pada aparat.
Ia dijebloskan di sebuah bangunan bekas pabrik kaleng di Batu, ia diamankan bersama seribuan orang lainnya. “ Saya ditahan tapi tak ada proses pengadilan. Saya di Introgasi oleh pihak Polisi dan Tentara, dituduhlah Saya sebagai PKI, tapi ndak ono bukti, Saya di cap Soekarnois” tukas Hwie.
Sejak saat itu selama lima tahun Hwie beberapakali dipindahkan tahanan, “Saya dibawa ke penjara jaman Belanda, penjara paling gedhe, di Lowokwaru, Malang.” Terangnya. Lalu Ia dipindahkan ke penjara Kali Sosok Surabaya, hingga Ia kembali diboyong ke Lapas Nusakambangan. Selama ditahanan Hwie mengaku nasibnya masih beruntung, ia tak terlalu banyak menerima penyiksaan, karena Wartawan dan Mahasiswa dianggap kalangan intelektual memang tak terlalu dapat intimidasi, sedangkan orang-orang yang jelas-jelas PKI dipukuli, disiksa, bahkan hingga dibunuh.
Pada tahun 1970, tepat pada saat Bung Karno meninggal dunia, Ia bersama seribu tahanan lainnya diangkut dengan kapal Tobelo menuju pengasingan di Pulau Buru. Di Pulau Buru ia bertemu dengan sastrawan besar Indonesia yang juga diasingkan, Pramoedya Ananta Toer. Hwie mengenal Pram, sejak ia masih menjadi wartawan.
Hwie membantu Pram dalam upaya menulis buku-bukunya. “Pram biasanya ngijolno telur bebek sama petelot (pensil, red). Lha kertas’e pake kertas semen,” tuturnya. Higga pada tahun 1978 Hwie dibebaskan. Ia dititipi naskah buku asli karya Pram. “Wi, saya titip. Kamu harus berani. Harus berani!” ucap Pram kala itu. Oleh Hwie naskah asli milik Pram di masukkan kedalam besek (keranjang kecil yang terbuat dari anyaman bambu), dan ditumpuk menggunakan pakaian kotor dan peralatan makan yang belom dicuci. Upaya itulah yang akhirnya menelurkan karya Pram yang tersohor sebagai Tetralogi Buru; Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca.
Setelah bebas, ia hanya bisa berdiam diri dirumah. Untuk mengisi waktu, sesekali meng-klipping koran-koran miliknya yang masih disimpan di loteng rumahnya. Setahun setelah Hwie bebas, ia mendengar kabar bahwa Pram juga dibebaskan. Ia bermaksud mengembalikan naskah milik Pram yang dititipkan kepadanya. Namun pram meminta Hwie menyimpan naskah asli miliknya yang hingga kini masih tersimpan rapi di lemari etalase di Perpustakaan Medayu Agung.
Berpuluh-puluh tahun kemudian, pada saat reformasi tahun 1998, buku-buku dan koran milik Hwie yang disimpan di loteng rumah akhirnya berani ia turunkan.
Setiba di Surabaya, ia didatangi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang ada di Australia. Koleksi buku, majalah dan koran milik Hwie ditawar dengan nominal satu milyar rupiah. Tapi Hwie menolak tawaran itu. Menurutnya, buku dan koran miliknya akan lebih berguna untuk generasi muda penerusnya supaya paham menyoal sejarah.
Hobby mengoleksi buku itulah yang mengantarkan Hwie mendirikan Perpustakaan Medayu Agung pada tahun 2001 di Surabaya. Nama Medayu Agung sendiri diambil dari nama lokasi keberadaan perpustakaan Medokan Ayu atau disingkat Medayu. Sedangkan Agung berarti kuat dan kokoh.
Perpustakaan yang beralamat di Jl. Medayu Selatan IV no. 42-44 ini tak hanya mengoleksi buku dan koran-koran kuno saja. Dapat ditemukan juga berbagai barang kuno seperti kaset pita kuno, piringan hitam, lukisan zaman dahulu, mesin ketik, patung kuno, bahkan ballpoint peninggalan Soekarno.
Tak dikenakan biaya sepeserpun jika ingin berkunjung ke tempat ini. Apabila ingin membaca koleksi di perpustakaan Medayu Agung, pengunjung dilarang membawa pulang buku atau korannya. Pengunjung dapat membaca di sebuah meja yang disediakan, atau bisa menggandakan buku dengan mesin fotocopy yang disediakan di sana. (frd)