Menhan Filipina Ultimatum China, Akibat Ulah Kapal di Kawasan LCS
Menteri Pertahanan (Menhan) Filipina Delfin Lorenzana mengultimatum China untuk segera menghentikan pelanggaran hak maritim negaranya. Hal tersebut menyusul 200 kapal China terdeteksi di Laut China Selatan, yang masuk wilayah Filipina.
"Kami menyerukan kepada China untuk menghentikan serangan ini dan segera menarik kembali kapal-kapal ini yang melanggar hak maritim kami dan melanggar batas wilayah kedaulatan kami," kata Lorenzana seperti dikutip BBC, Senin 22 Maret 2021.
Foto yang dirilis oleh penjaga pantai Filipina menunjukkan deretan kapal China yang terhenti di Whitsun Reef (disebut Julian Felipe Reef oleh Filipina) di Laut China Selatan pada 7 Maret. Wilayah tersebut merupakan terumbu karang yang terletak di dalam zona ekonomi eksklusif Filipina.
Lorenzana meminta Beijing untuk memindahkannya, mengatakan bahwa kapal-kapal penangkap ikan itu tampaknya tidak sedang menangkap ikan dan diawaki oleh milisi maritim China.
Lima tahun lalu, pengadilan internasional menolak klaim kedaulatan China atas 90 persen Laut China Selatan.
Filipina, Brunei, Malaysia, Taiwan, dan Vietnam semuanya telah memperebutkan klaim China atas hampir seluruh Laut selama beberapa dekade, tetapi ketegangan terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir.
Beijing terus mengklaim wilayah yang dikenal sebagai sembilan garis putus-putus dan telah mendukung klaimnya dengan pembangunan pulau dan patroli, memperluas kehadiran militernya. Mereka berkeras bahwa tindakan itu dilakukan untuk tujuan damai.
Tiongkok Harus Hormati UNCLOS 1982
Terkait isu Laut Cina Selatan (LCS), menjadi perhatian serius negara-negara ASEAN. Ikhtiar mencapai penyelesaian Kode Etik (Code of Conduct-Coc) di kawasan LCS, hingga saat ini masih menjadi fokusnya.
Meski, telah menyetujui isi kerangka kode etik pada 2019 lalu, namun negosiasinya terpaksa terhenti karena adanya pandemi COVID-19.
Direktur Jenderal Kerja Sama ASEAN Kementerian Luar Negeri RI Sidharta R. Suryodipuro, menegaskan UNCLOS merupakan salah satu hukum internasional yang harus dihormati oleh ASEAN dan Tiongkok di LCS.
“Tetapi lebih banyak yang bisa dan perlu dilakukan, aspirasi kita atau Laut Cina Selatan yang menikmati kebebasan navigasi dan penerbangan, berdasarkan hukum internasional khususnya UNCLOS adalah aspirasi yang dibagikan oleh seluruh masyarakat internasional,” ujar Sidharta.
Sidharta menyebut, menjaga stabilitas dan keamanan kawasan merupakan kesimpulan dari kode etik di LCS.
“Juga bagian dari upaya kita untuk stabilitas dan keamanan kawasan adalah kesimpulan dari kode etik di Laut Cina Selatan. ASEAN dan Tiongkok telah melihat kemajuan dalam dua dekade. Dan saya mengacu secara khusus pada keberpihakan DoC (Dokumen Perilaku),” tutur Sidharta.
Sidharta mengungkapkan hal itu dalam webinar yang diselenggarakan oleh Centre for Strategic and International Studies (CSIS) memperingati 30 tahun hubungan dialog ASEAN-RRT, 9 Maret 2021.
Wakil Presiden Akademi Diplomatik Viet Nam Nguyen Hung Son berpendapat, Tiongkok perlu menyadari sepenuhnya keinginan ASEAN untuk adanya penghormatan terhadap hukum internasional seperti konvensi PBB tentang hukum laut (UNCLOS 1982), yang menjadi dasar kesepakatan kode etik di LCS.
“Kode etik yang diinginkan ASEAN sejak Anda menanyakan bentuk dan bentuk dengan COC, perlu substantif dan harus efektif. Ini harus konsisten dengan hukum internasional yang ada seperti konvensi PBB tentang hukum laut (UNCLOS), dan kami berharap Tiongkok juga akan menyadari mengapa sangat penting kode etik perlu demikian,” ujar Nguyen.
Menurut Nguyen, pengadopsian kode etik di LCS juga dipandang penting untuk dilakukan oleh Lembaga lain di Tiongkok, misalnya isi pada pasal-pasal yang terkandung dalam UU Penjaga Pantai di Tiongkok.
“Saya harus menyebutkan bahwa undang-undang Penjaga Pantai baru-baru ini di Tiongkok, saya khawatir ASEAN tidak memandangnya dengan baik. Karena, hal itu menimbulkan kekhawatiran bahwa hukum domestik China mungkin tidak sejalan dengan ekspektasi kawasan,” ungkapnya.
Meski demikian, Nguyen optimis stabilitas di LCS dapat dicapai dengan penerapan kode etik, yang diputuskan konsisten dengan hukum laut.
“Jadi, kode etik adalah jalan yang harus ditempuh dan kami berharap Tiongkok dan ASEAN akan mengambil pendekatan pemerintah secara keseluruhan dalam negosiasi. Kita akan membuatnya sekonsisten mungkin dengan hukum laut dan karena itulah satu-satunya cara untuk itu berhasil serta untuk dicapai di masa yang akan datang,” terang Nguyen.
Tiongkok Bertekad Jaga Stabilitas Kawasan
Wakil Menteri Luar Negeri Tiongkok (RRT) Luo Zhaohui, menyebut, negaranya berkeinginan untuk adanya percepatan konsultasi pembahasan kode etik, seperti yang menjadi keinginan 10 negara ASEAN.
“Saat ini para pihak terkait terlibat dalam komunikasi yang erat tentang konsultasi kode etik. Saya setuju dengan komentar kita yang lain. Kedua belah pihak ingin mempercepat konsultasi semacam itu. ASEAN dan Tiongkok siap untuk memilih lagi bahwa kita memiliki kearifan dan kemampuan untuk mengatur situasi di Laut Cina Selatan,” ungkap Luo.
Menurut kode etik ASEAN dan Tiongkok sukses berkontribusi dalam menjaga stabilitas di kawasan.
“Selama 30 tahun terakhir kedua belah pihak telah mengelola perbedaan dengan baik, memberikan kontribusi besar bagi perdamaian dan stabilitas kawasan,” tambahnya.
Dikatakan Luo Zhaohui, komitmen untuk menjaga stabilitas di kawasan Laut China Selatan, juga dilakukan kedua pihak bahkan setelah penandatanganan Document of Conduct (Dokumen Perilaku).
“Tiongkok dan negara-negara ASEAN menandatangani DoC pada tahun 2002. Sejak itu, mereka telah bekerja untuk meningkatkan dialog, rasa saling percaya, dan kerja sama untuk membangun Laut Cina Selatan menjadi lautan perdamaian, persahabatan, dan kerja sama,” ujar Lou.