Mengundurkan Diri, Damage Control atas Joint Statement
Pengantar Redaksi:
Indonesia dan Tiongkok telah mengadakan pertemuan penting, direpresentasikan Presiden Prabowo Subianto dan Presiden Tiongkok Xi Jinping. Keduanya melakukan kesepakatan bersama.
Ada catatan penting dalam sejarah yang perlu diingatkan soal kawasan yang sering disengketakan menyangkut wilayah Nusantara atau kemaritiman Indonesia. Baik soal Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) maupun UNCLOS tahun 1982.
UNCLOS atau United Nations Convention on the Law of the Sea merupakan hukum laut internasional yang diterapkan oleh negara-negara di dunia. UNCLOS adalah hasil perjuangan negara-negara yang memiliki laut untuk memperluas kewenangan atas wilayah laut yang dimiliki oleh tiap-tiap negara.
Atas pertemuan kedua pemimpin negara, Prabowo dan Xi Jinping, terjadi ketidaksepakatan statemen dari pejabat Kementerian Luar Negeri (Kemlu-RI) yang kemudian mendapat kritik dari kalangan akademisi kita. Sebagaimana berikut:
Oleh: Hikmahanto Juwana
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China pada tanggal 11 Novemeber menyatakan China siap untuk menindaklanjuti Joint Statement Presiden Indonesia dan Presiden China terkait kerja sama di area tumpang tindih.
Pernyataan diatas seolah merujuk pada Sembilan Garis Putus yang diklaim oleh China yang tidak memiliki basis berdasarkan UNCLOS yang beririsan dengan Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen Indonesia di Natuna Utara.
Hal di atas disampaikan oleh Kemenlu China meski Kemenlu Indonesia telah membuat klarifikasi pada tanggal 11 November bahwa yang dimaksud dalam Joint Statement tidak terkait dengan pengakuan Sembilan Garis Putus sehingga tidak ada klaim tumpang tindih (overlapping claims) di Natuna Utara.
Klarifikasi yang disampaikan mungkin memadai bagi publik dan masyarakat di Indonesia. Namun tidak memadai bagi masyarakat internasional.
Negara-negara yang selama ini mengapresiasi posisi Indonesia yang tidak mengakui Sembilan Garis Putus dan dikuatkan dengan putusan PCA pada tahun 2016 terus mempertanyakan posisi Indonesia.
Pemerintah harus mengakui bahwa kerusakan telah terjadi (damage has been done) dan tidak harus mengelak dengan berputar-putar melalui penafsiran kata atau kalimat.
Kesalahan fatal harus dilakukan mitigasi atas kerusakan (damage control).
Salah satu bentuk mitigasi kerusakan adalah Indonesia melalui pejabat yang berwenang secara jelas dan tegas menyatakan kesalahannya dalam pembuatan Joint Statement.
Namun pernyataan salah ini tentu tidak cukup. Pernyataan ini harus ditindak-lanjuti dengan keberanian pejabat tertinggi yang memilki kewenangan untuk berani mengundurkan diri dalam jabatannya.
Pengunduran diri ini pejabat yang paling bertanggung jawab untuk menunjukkan bahwa Indonesia tetap dalam komitmen kebijakan yang tidak mengakui klaim China atas Sembilan Garis Putus dan memberi assurance kepada negara-negara yang selama ini mengapresiasi posisi Indonesia. Terpenting agar China berhenti mengeksploitasi kesalahan dalam Joint Statement untuk kepentingannya semata.
Disamping itu, pengunduran diri merupakan bentuk tanggung jawab kepada Presiden Prabowo atas keteledoran yang telah dilakukan oleh pejabat tertinggi dalam penyusunan Joint Statement.
Advertisement