Mengubah Pola Pikir, Kesadaran Baru Dakwah Islam
Dalam berdakwah harus dipahami objek secara tepat, tidak sembarangan. Nabi Muhammad SAW mengubah pola pikir masyarakat Arab jahiliyah secara bertahap. Ayat-ayat yang turun di Makkah dan Madinah berbeda. Semisal dalam hal pengharaman minuman keras dilakukan dengan bertahap.
Dengan pendekatan ini, kata Malik bin Nabi dalam Le Phenomene Quranique, Islam lebih berhasil mengubah masyarakat untuk meninggalkan tradisi minum-minuman keras, sementara Amerika Serikat dengan pendekatan aturan Acte Volstead (1919) justru gagal.
Islam datang mengubah pola pikir dan membangun kesadaran baru. Dalam menyajikan materi dakwahnya, kata Quraish Shihab, Al-Qur’an terlebih dahulu meletakkan suatu prinsip bahwa manusia yang dihadapi adalah makhluk hidup yang terdiri dari unsur jasmani, akal, dan jiwa, sehingga ia harus dipandang dan diperlakukan dengan keseluruhan unsur-unsurnya secara simultan. Manusia bersifat kompleks, tidak bisa dihadapi secara intrumental layaknya robot yang tidak punya aspek emosional.
Menurut Quraish Shihab dalam Membumikan Al-Qur’an (1994), tidak ada satu pun tingkah laku, sikap, atau pola pikir yang hendak diberantas oleh Al-Qur’an atau sebaliknya ingin diteguhkan, kecuali semuanya diuraikan dengan argumen rasional, sentuhan psikis, serta teladan dari Nabi. Inilah faktor kunci keberhasilan dakwah Nabi. Bermula dari teladan pribadi dan berakhir pada terbentuknya masayarakat islami. Pola pikir dan sikap perseorangan akan menular kepada masyarakat.
Amar makruf nahi munkar memang ajaran utama. Al-Maududi dalam Capitalism, Socialism, and Islam (1995) menyatakan, “the main objective of the Shariah is to construch human life on the basis of ma’rufat and to cleanse it of the munkarat” (tujuan yang utama dari syari’at ialah untuk membangun kehidupan manusia di atas ma’rufat dan membersihkannya dari hal-hal yang munkarat).
Menurut Ibnu Taimiyyah, dalam Al-Qur’an ada tiga puluh delapan kata al-ma’ruf dan enam belas kata al-munkar.
Al-Qur’an banyak memerintahkan amalan makruf, kebaikan, dan ihsan. Dalam perkembangan dakwah di tengah masyarakat, kata Nucholish Madjid, laku umat Islam cenderung mengarah pada nahi munkar semata. Mereka cenderung melakukan perjuangan reaktif (fight againts), dan kadang kurang menerapkan perjuangan amar makruf (fight for), yang sifatnya mengajak pada upaya membangun kebaikan, kebersamaan, kemajuan, dan cita-cita perjuangan proaktif. Seperti dipesankan Nurcholish Madjid (1999:97).
Dakwah adalah usaha mempengaruhi cara berpikir dan bertindak manusia di tataran individu dan masyarakat dalam semua bidang sehingga sesuai dengan nilai dan norma Islam yang dibawa Nabi Muhammad. Salah satu tugas pokok dakwah Nabi adalah menyampaikan amanah untuk menyempurnakan akhlak manusia.
Standar akhlak yang dimaksudkan adalah Al-Qur’an. Kata Aisyah, “Akhlak Nabi adalah al-Qur’an.” Beliau laksana Qur’an berjalan.
Dakwah amar makruf nahi munkar harus dilakukan dengan kemuliaan akhlak. Dakwah yang merangkul dan penuh empati akan mengundang simpati dan sampai ke hati.
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah, kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu…” (QS Ali Imran:159)
Kebaikan dan keburukan ada di mana-mana. Surat Al-Syams ayat 8 menyatakan, “Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaan.” Sebelum melakukan dakwah amar makruf nahi munkar, kita dituntut untuk mengenali dan memahami terlebih dahulu tentang hakikat kebaikan dan keburukan di dalam masyarakat.
Setelah memiliki pemahaman, barulah orang bisa untuk menyeru pada kebaikan dan mencegah tindakan-tindakan keburukan. Semua itu dilakukan dengan adil, tidak dengan politisasi.
Kata al-ma’ruf berasal dari kata ‘arafa, yaitu dikenal atau disepakati sebagai standar umum kebaikan. Dari kata ini, para ulama ushul fikih merumuskan prinsip urf menjadi salah satu sumber hukum Islam. Menurut Hamka, makruf adalah sesuatu yang dikenal, dapat dimengerti, dipahami, diterima oleh manusia, dan dipuji.
Perilaku ini hanya dilakukan oleh manusia berakal. Sementara munkar adalah sesuatu yang dibenci, tidak disenangi, ditolak oleh masyarakat, karena tidak patut dan tidak pantas dikerjakan. Objek amar makruf nahi munkar haruslah pada wilayah yang telah disepakati kebaikan dan keburukannya. Adapun perbuatan yang masih mengandung khilafiyah, tidaklah dikenai amar makruf nahi munkar.
Menyeru yang makruf dan mencegah yang munkar merupakan aktivitas dakwah. Asasnya harus dakwah. Bukan pikiran sendiri-sendiri tanpa prinsip dakwah. Amalan ini dijalankan dengan prinsip An-Nahl ayat 125: bil-hikmah, wal-mauidhatul hasanah, wa-jadilhum billati hiya ahsan. Dilakukan secara elegan dan perlahan untuk memberi pemahaman. Nabi Musa dan Harun ketika berdakwah kepada Fir’aun yang sangat kufur dan zalim sekalipun, diperintahkan bersikap lembut.
Dalam Al-Quran Surat Thaha ayat 43: 44, menyatakan, “Pergilah kamu berdua kepada Firaun, sesungguhnya dia telah melampaui batas. Berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” Demikian seperti dilansir Suara Muhammadiyah.
Advertisement