Mengubah Kementerian Agama? Ini Fakta Negara Pancasila
Hari ini saya membaca di WhatsApp tentang wacana mengubah Kementerian Agama (Kemenag) menjadi Kementerian Urusan Haji dan Wakaf. Bahkan juga di WA tersebut memuat rencana perubahan tentang aturan nikah, talak, rujuk yang pada intinya meniadakan proses pernikahan secara agama.
Saya menduga pesan WhatsApp tersebut hoaks. Tetapi karena beberapa tahun yang lalu ada pihak yang mewacanakan “perubahan fungsi Kemenag” seperti di atas, maka saya terpanggil menanggapinya.
Pembentukan Kemenag ada kaitannya dengan proses berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasarkan Pancasila. Suatu wujud kesepakatan diantara pendiri negara bahwa Indonesia bukan negara yang mengikuti “Sekularisme" dan bukan pula dimaksudkan sebagai negara “Teokrasi”. Oleh karena itu kalau wacana tersebut benar ada, persoalannya “tidak sederhana" karena menyangkut persoalan sejarah dan aspek yang mendasar.
Dalam buku peringatan lahirnya Kemenag (Departemen Agama) tahun 1951, Menteri Agama KH Wahid Hasyim (almarhum ) mengemukakan bahwa lahirnya Depag menimbulkan reaksi dari dua pihak yang berlawanan yaitu:
Pertama, kaum pendukung sekularisme yang menolak kehadiran agama dalam urusan negara.
Kedua, kaum yang bereforia, merayakan secara berlebihan sebagai kemenangan umat Islam. Mereka inilah yang mendukung negara Teokrasi.
Padahal, menurut KH Wahid Hasyim, lahirnya Depag harus dipandang sebagai tugas besar bagi kaum muslimin yang merupakan mayoritas untuk menegakkan persatuan bangsa khususnya dengan membangun dan menjaga “Toleransi Beragama “.
Pernyataan KH Wahid Hasyim tersebut, juga terkait erat dengan dengan peresmian lambang “Garuda Pancasila” oleh Presiden Soekarno yang di bawah kakinya tertulis semboyan “Bhineka Tunggal Ika" di atas pita yang dicengkeram kuat oleh burung Garuda.
Toleransi khususnya toleransi beragama secara garis besar mengandung norma yang bersifat universal, tetapi tidak bisa dihindarkan ada kekhususan bagi suatu negara. Sebagai contoh ada suatu negara di Eropa (sekuler ) meskipun mengizinkan didirikan tempat ibadah umat Islam, tetapi melarang pendirian menaranya dengan alasan tidak merupakan budaya atau tradisi negara tersebut.
Bahwa sejauh ini kehidupan toleransi beragama dan berbangsa di negara kita, sesungguhnya telah berlangsung dengan baik dan hal itu telah diakui oleh dunia.
Namun terkait dengan perkembangan globalisasi dan revolusi teknologi informasi, yang memungkinkan dan itu telah terjadi, suatu arus gerakan radikal agama trans-nasional yang terus meningkat, sehingga memerlukan diperkuatnya kehidupan toleransi beragama dan dalam kehidupan berbangsa.
DR KH As'ad Said Ali
Pengamat Sosial-Politik, Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama periode 2010-2021. Tinggal di Jakarta.
Advertisement