Mengobarkan Perang Dagang
Dampak Perang Peradaban: Terhadap RI?
(Episode Pertama)
Tesis Samuel Huntington dan Francis Fukuyama tentang “The Clash of Civilizations“ yang digagas pasca-bubarnya USSR (Uni Soviet), saat ini semakin mendekati kenyataan. Dalam tesis itu dikemukakan bahwa Peradaban Barat (sistem sosial, ekonomi politik - ideologi, keamanan) akan menggilas sistem peradaban lain. Menurutnya pada akhirnya AS dan Sekutu Barat-Anglo Saxon akan mendominasi dan memimpin dunia.
Hal itu berarti peradaban dunia tidak lagi bersifat multipolarisme, melainkan Uni polarisme dibawah kendali peradaban AS / Barat. Secara garis besar, lawan peradaban Barat (Neo- Lib) adalah Peradaban Timur terdiri dari China/Confusius), Jepang/Shinto, Rusia/Slavia - Ortodox, India/Hindu - Budha, Timur Tengah/Asia Tenggara - Islam.
Senjata perang yang dominan digunakan adalah media seperti televisi, radio, media-cetak dan khususnya medsos. Dengan keunggulan teknologi informasi yang dimiliki AS/Barat, mereka mampu mengendalikan jalannya konflik peradaban. Adapun isu yang digunakan meliputi ekonomi, politik/HAM dan isu lain yang sensitif di masyarakat.
Dalam periode 1990 - 2000, AS memulai perang dagang melawan Jepang (Barat vs Sinto). Sampai awal 1997 Jepang mampu bertahan , tetapi AS memperluas perang dengan cara melemahkan nilai mata uang negara yang menjadi patner dagang Jepang. Salah satu dampak regionalnya kemudian adalah terjadinya krisis moneter di Asia yang mengakibatkan beberapa rezim di Asia jatuh termasuk Pres Soeharto.
Perang Dagang
Setelah itu pada Era Trump, AS mengobarkan perang dagang thp RRC (Confusius) yang hingga kini masih berlangsung. Bahkan perang meluas , dengan mengobarkan perang dagang melawan Rusia (peradaban Slavia) dengan memanfaatkan invasi Rusia terhadap Ukraina. Rusia marah atas upaya Barat yang ingin menjadikan Ukraina (Slavia) bagian dari dari NATO. Pada hal Rusia menganggap Ukraina termasuk peradaban Slavia.
Sebelumnya pada 2011, AS/Barat juga menggerakkan Arab Spring (Revolusi Arab) di Timur Tengah. Revolusi di Tunisia yang dipicu oleh protes dengan cara membakar diri seorang pedagang sayur yang dengan cepat menjalar hampir keseluruhan negara Arab , berkat peranan jaringan medsos Barat di Timur Tengah. Akibatnya beberapa rezim jatuh antara lain Mesir, Libya, Irak, Tunisia, Aljazair, Yaman.
Perang dagang AS vs RRC masih berlangsung hingga kini yang diawali dengan kebijakan proteksionis pada era Presiden Donald Trump. Sampai saat ini , dampak perang dagang tersebut masih dirasakan oleh banyak negara. Dan Indonesia menjadi arena dari perang dagang tersebut. Bahkan AS / Barat sejak dua tahun lalu memperluas perang dagang thd Rusia sebagai reaksi thd invasi Rusia ke Ukraina. Pada hal pemicu perang adalah AS / NATO yang mendorong Ukraina menjadi anggauta NATO. Tentu saja Rusia marah, karena Ukraina adalah bagian dari peradaban Slavia.
Berbagai ahli strategi dan Ahli Ekonomi menilai bahwa dampak perang Ukraina lebih destruktip dibanding perang dagang AS - Jepang dan AS - RRC. Seperti sering kita baca di media bahwa perang Ukraina mengakibatkan kelangkaan bahan makanan pokok dan bahan bakar minyak- gas - batu bara didunia.
Akibatnya terjadi kenaikan harga tinggi yang menimbulkan krisis energy dan makanan pokok di berbagai negara. Indonesia selama beberapa bulan telah mengalami dampak dari krisis dunia tersebut.
Akibat lainnya, hingga saat ini dunia masih menghadapi ancaman resesi ekonomi, suku bunga bank yang terus naik dan jatuhnya nilai saham di bursa effek.
Indonesia juga mengalami dampak serupa yang dialami oleh negara-negara lain. Ada kekhawatiran cukup besar atas turunnya permintaan berbagai jenis import komoditi , sehingga berpotensi timbulnya defisit neraca perdagangan. Kemungkinan buruk lainnya adalah ancaman menurunnya secara tajam investasi dari luar negeri dan diikuti berbagai dampak sosial lainnya yang berimbas masalah politik dan keamanan.
Kita bisa membayangkan betapa sulitnya situasi yang akan dihadapi oleh pemerintah RI, seperti melihat awan gelap yang menggantung dilangit. Tentu saja keadaan tersebut menimbulkan potensi keresahan politik di Tanah Air. Bersumber pada kondisi seperti itulah timbul isu-isu politik miring misalnya perpanjangan jabatan presiden, jabatan tiga periode berturut turut sampai isu penundaan Pemilu.
Para politisi berdebat keras mengenai isu-isu politik tersebut dan di medsos dibanjiri dengan berita berita hoaks yang membuat rakyat semakin bingung. Sebagai rakyat biasa, tentu saja saya menyerahkan solusinya kepada para politisi dan pakar, bagaimana solusi yang terbaik bagi bangsa dan negara. Bagi saya yang penting setiap solusi hendaknya konstitusional dan transparan.
DR KH As'ad Said Ali
Pengamat Sosial-Politik, Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Penulis buku "Perjalanan Intelijen Santri" (2021).