Mengistimewakan Pasar Tradisional
Beberapa hari ini viral tentang Pasar Prawirotaman Yogyakarta. Yang baru dan keren. Yang ada eskalatornya untuk naik ke setiap lantai. Sampai yang teratas, lantai empat.
Eskalator sebetulnya barang biasa di zaman sekarang. Apalagi di pusat-pusat perbelanjaan. Di kota besar umumnya. Apalagi di pusat-pusat perbelanjaan modern.
Tapi eskalator di pasar tradisional? Paling tidak saya baru tahu di Pasar Prawirotaman ini. Di jalan menuju Pantai Parang Tritis. Di selatan Pojok Beteng Timur.
Inilah jalan yang bertahun-tahun saya lewati. Dengan bus kota. Ketika saya masih kuliah di Jogja. Yang kost di Jogokaryan. Desa yang berbatasan dengan Krapyak. Yang ada pondok pesantren Al-Munawir.
Tertarik dengan eskalator yang viral, saya pun mendatangi pasar itu. Ingin melihat langsung seperti apa eskalatornya. Beroperasi atau tidak? Bagaimana kehidupan pasarnya.
Asyik. Setiap lantai sudah dibagi untuk jenis dagangan. Mulai sayur mayur, dagung dan ikan, fashion, bumbon (bumbu-bumbuan), gula Jawa, Sembako dan sebagainya.
Di lantai paling atas, menjadi coworking space. Ya semacam kantor bersama untuk para pelaku ekonomi kreatif. Yang memang sejak dulu menjamur pelakunya di kota pelajar ini.
Di dalamnya ada tempat yang bisa disewa untuk rekaman podcast. Hanya Rp 70 ribu per jam. Konsep awalnya, pasar itu juga menjadi pusat kerajinan karena lokasinya di kawasan wisatawan.
Asyiknya, pasar ini memadukan konsep pasar tradisional dengan kebutuhan layanan kekinian. Tradisonal karena masih ada rasa komunal. Yang memungkinkan komunikasi antar pedagang secara terbuka.
Seperti umumnya pasar tradisional, para pedagangnya didominasi para ibu-ibu. Malah sebagian besar sudah lansia. Apalagi di los atau bagian kebutuhan hidup sehari-hari. Mereka bisa ngerumpi antar pedagang di saat sepi pembeli.
"Pasar ini didanai APBN. Tapi konsep designnya dari Pemkot Yogyakarta. Kita pingin pasar ini hidup sepanjang hari. Tak hanya dipagi hari," kata Wakil Walikota Yogyakarta Heru Purwadi.
Ia juga memikirkan bagaimana pasar itu hidup levih lama. Tidak hanya pagi hari seperti umumnya pasar tradisional. "Konsepnya pagi pasar tradisional, setelah itu pasar kerajinan. Apalagi tempatkan di pusat wisatawan," tambahnya.
Seperti saya, Heru adalah wawali yang mantan jurnalis. Mantan wartawan Majalah Editor. Adik kelas saya di Fisipol UGM. Selepas jadi wartawan, ia aktif di PAN. Menjadi kadernya Pak Amien Rais.
Walikota Yogyakarta Haryadi seangkatan dengan saya di fakultas yang sama. Sempat menjadi profesional di BUMN, ia ditarik Walikota Legendaris Herry Zudianto. Yang menyulap Shopping Center menjadi Taman Pintar.
Seperti Haryadi, Heru Purwadi juga punya peluang besar menggantikan pendahulunya menjadi walikota. Kalau tak ada tsunami politik di pemilu serentak 2024. Yang akan berbarengan dengan pilpres dan pileg.
Kembali ke Pasar Prawirotaman.
Pasar --terutama di Jawa-- memang bukan sekadar tempat transaksi barang. Ia menjadi subkultur yang mencerminkan model interaksi sosial masyarakat di sekitarnya.
Di dalamnya menyimpan mentalitas penghuni dan pengunjungnya. Kegigihan para pedagangnya. Pola relasi antar manusia di sekitar pasar. Juga cermin disiplin dan sikap terhadap kebersihan.
Karena itu, membangun pasar bukan sekadar membuat struktur fisik tempat orang berdagang. Melainkan memberikan ruh bangunan sehingga mereka yang di dalam pasar menjadi nyaman.
Ketika ruang makin terbatas, di perkotaan banyak pasar dibangun dengan bertingkat. Tapi akhirnya, lantai atas seringkali ditinggalkan pedagang karena sepi pembeli. Mereka malas naik tangga.
Karena sepi pembeli, pedagang akhirnya memilih di halaman pasar atau meluber di jalanan. "Maju selangkah menyongsong pembeli atau langganan," demikian guyonan para pedagang pasar.
Karena itu, mendesign pasar yang membuat alur pembeli bisa mengeksplor seluruh pedagang pasar. Salah satunya dengan menyediakan eskalator untuk semua pasar tradisional yang bertingkat.
Mulai banyak inovasi untuk mengistimewakan pedagang pasar tradisional dilakukan kepada daerah. Namun, tentu tidak bisa dengan hanya mengandalkan investor swasta yang harus memikirkan pengembalian modal.
Perencanaan infrastruktur bangunan yang memanusiakan pedagang dan pembeli, tata kelola yang profesional, dan pemihakan kepada sektor informal menjadi kuncinya. Dalam hal ini, negara atau pemerintah memang harus hadir di hadapan mereka.
Di Surabaya amat banyak yang bisa dibikin seperti Pasar Prawirotaman. Misalnya Pasar Kembang yang terkenal dengan jajanan basahnya, Pasar Blauran dengan kulinernya, dan pasar-pasar lainnya.
Advertisement