Mengislamkan Muslim, Jalan Islam Menuju Beriman
Umat Islam di seluruh dunia sekitar 1,8 milyar Muslim. Hampir seperempat dari seluruh penduduk dunia. Islam adalah agama samawi terbesar kedua di dunia setelah Kristen. Benarkah demikian?
Ada kegelisahan tersendiri dari sejumlah kalangan, baik intelektual maupun politisi Muslim yang konsen pada Keislamannya. Di antaranya, adalah Abdillah Toha, yang justru menyampaikan renungan akan kondisi umat Islam terkini.
Berikut lewat "Mengislamkan Muslim" Abdillah Toha, seorang di antara pendiri PAN dan fungsionaris Rabithah Alawiyah, menghadirkan renungannya:
Sebuah pertanyaan diajukan ke saya oleh seorang pembaca menyangkut tulisan saya yang memuji prestasi seorang ulama besar yang tinggi ilmunya. Pertanyaannya, berapa banyak orang yang sudah masuk Islam ditangannya? Seakan-akan ukuran kehebatan seorang ulama itu diukur dari jumlah non-Muslim yang telah diislamkannya.
Saya katakan saya tidak tahu tetapi saya tahu begitu banyak Muslim yang bersyukur mendapat bimbingannya karena kualitas keislamannya menjadi lebih baik dan telah diselamatkan dari sesat paham tentang apa sebenarnya misi dan esensi Islam.
Mengjslamkan non Muslim menyangkut campur tangan Tuhan dengan apa yang disebut sebagai hidayah. Dan hidayah adalah prerogatif Allah. Hanya Allah lah yang dapat memberi hidayah. Bahkan dalam Al-Quran jelas dikatakan Nabi SAW pun tidak bisa memberi hidayah. Hidayah bisa datang melalui proses dakwah atau tanpa dakwah ketika yang bersangkutan mencari sendiri dan kemudian dibimbing oleh Allah untuk mencapai tujuannya.
Di seluruh dunia saat ini ada sekitar 1,8 milyar Muslim. Hampir seperempat dari seluruh penduduk dunia. Islam adalah Agama samawi terbesar kedua di dunia setelah Kristen. Karena rata-rata angka kelahiran Muslim tertinggi di dunia, maka tidak mustahil bila tidak terlalu lama lagi Muslim bisa menjadi mayoritas penduduk dunia.
Karenanya menambah jumlah Muslim dengan mengislamkan non Muslim bukanlah prioritas utama. Yang lebih penting adalah mencari jalan bagaimana mengubah dan mengembangkan mereka yang sudah mengaku Muslim menjadi Muslim yang lebih berkualitas.
Di era modern saat ini, kualitas jauh lebih penting daripada kuantitas. Kelompok atau etnis yang kecil namun unggul dalam ilmu dan teknologi seringkali dapat menguasai dan mengendalikan jumlah yang banyak tapi lemah dalam banyak hal seperti umat Islam.
Muslim yang banyak tetapi gagal memahami makna Islam yang sebenarnya justru berbahaya dan mengakibatkan berbagai masalah seperti kita saksikan saat ini dalam kehidupan umat Islam di berbagai bagian dunia. Ditindas oleh kekuatan luar dan didalam berkelahi sendiri.
Tulisan ini tidak akan mengulas apa itu Islam yang benar karena penulis tidak mengklaim sebagai orang yang paling tahu tentang Islam. Bagi penulis, cukuplah bila kita sepakat bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan akhlak dan mewajibkan pemeluknya untuk menuntut ilmu. Ketika akhlak hilang di tengah-tengah umat dan masih terlalu banyak Muslim yang dilanda ketertinggalan dan kebodohan, maka sebenarnya umat sedang tidak memahami dan tidak berpegang kepada ajaran Islam yang pokok.
Judul tulisan ini bisa juga berbunyi Memu'minkan Muslim. Junjungan kita Nabi Muhammad SAW pernah menyebut seorang Arab Badui yang memeluk Islam dengan mengatakan bahwa dia sudah berislam tapi belum beriman. Iman berada satu derajat lebih tinggi dari keislaman.
Berislam adalah bersyahadat dan melaksanakan ritual sesuai yang disyariatkan. Beriman berarti menghayati dan meyakini secara mendalam makna dari keislamannya dan beramal saleh sesuai dengan tuntunan Quran dan Sunnah Nabi. Begitu pentingnya tahap keimanan seseorang sehingga Allah dalam ayat-ayat Quran menyapa hambanya yang Muslim tidak pernah dengan "Wahai orang-orang yang berislam" tetapi selalu dengan "Wahai orang-orang yang beriman".
Bahkan di salah satu surah Al-Ma'un ayat 4 dan 5, Allah justru "mengecam" orang yang melaksanakan shalat tapi alpa terhadap (makna dan tujuan sesungguhnya) dari shalat.
Mengislamkan Muslim harus ditekankan pada sisi substansial dan spiritual Islam yang bermakna bagi kebaikan dan kemajuan bersama. Sisi spiritual Islam diajarkan sebagai agama yang membahagiakan diri sendiri dan lingkungannya. Bukan agama yang menebar amarah dan kekacauan. Bukan pula agama yang jauh dari tujuan pencapaian kondisi jiwa yang tenteram.
Islam tidak menekankan sisi simbolis dan artifisial seperti busana Muslim sarung, gamis, baju koko putih dan kopyah putih yang mirip seragam sebuah club atau paguyuban yang namanya Islam. Ketika kumpulan berseragam itu membuat onar, orang akan mengasosiasikan seragam itu.sebagai seragam yang menakutkan. Islam yang benar bersemayam di hati yang bersih dan niat kemanusiaan yang mulia. Bukan pada penampakan lahir yang direkayasa.
Perubahan harus dimulai pada anak-anak di sekolah dengan mengajarkan bahwa bila mereka shalat tapi berbohong, menipu, korupsi, tidak patuh hukum, merusak lingkungan, dan sejenisnya, maka sebenarnya mereka bukan Muslim tetapi sekadar orang yang bersyahadat, shalat, puasa, tidak makan babi, dan tidak minum minuman keras. Orang tua harus turun tangan dan tidak boleh memasrahkan anaknya kepada sebarang guru agama atau ustaz. Sebelum memilih guru harus lebih dahulu menguji karakter dan pandangan hidup sang guru.
Bagi orang dewasa yang Islamnya terlanjur salah kaprah dan membahayakan kehidupan bermasyarakat dan bernegara, pemerintah harus turun tangan mewujudkan kebijakan dan aturan main yang dapat dengan cepat memininumkan dampak negatifnya dan mencegah penularan ke lingkungan yang lebih luas. Tindakan harus segera diambil dan tidak boleh ada kompromi bila perilaku orang beragama justru merugikan hari depan bangsa ini.
Penekanan menuju kepada karakter dan integritas Muslim yang patut diteladani adalah justru alat dakwah yang bisa menarik non Muslim. Bukan pidato dan khotbah yang tidak konsisten dengan perilaku Muslim di lapangan. Masyarakat yang lebih berakal sehat juga tidak boleh diam dan membiarkan Muslim awam terus menerus dikangkangi oleh yang mengaku sebagai imam atau ustaz yang punya agenda yang jauh menyimpang dari shirat almustaqim.
Semoga.
*) Sumber: Abdillah Toha, dari buku: “Buat Apa Beragama?”
Advertisement