Mengintip Produksi Arang Briket Buatan IKM di Mojokerto
Arang briket kelapa buatan industri kecil menengah (IKM) di Kabupaten Mojokerto diekspor hingga ke beberapa negara. Industri Kecil Menengah milik Eka Meidayanti, 40 tahun itu, dirintis sejak 2019 silam.
Eka mendirikan dua perusahaan sekaligus. CV Hindianindo di Desa Mlirip, Jetis, Kabupaten Mojokerto untuk memasarkan produk dan membakar batok kelapa. Sedangkan PT Energi Natural Indonesia di Dusun Gedeg Lor, Desa/Kecamatan Gedeg, untuk mengolah batok kelapa yang sudah dibakar sampai menjadi briket.
Dibantu 18 karyawan, Eka memulai produksi arang briket di CV Hindianindo. Di tempat inilah batok kelapa dibersihkan dari serabutnya, lalu dibakar selama 2 hari sampai menjadi arang. Selanjutnya hasil pembakaran dikirim ke PT Energi Natural Indonesia di Desa Gedeg untuk diolah.
Batok kelapa selama ini ia beli dari para pedagang di pasar-pasar tradisional Kabupaten Mojokerto seharga Rp900 per kilogram. Ia juga membeli batok kelapa dengan harga yang sama dari para penyuplai pabrik santan, serta dari pabrik makanan.
"Harapan saya Perhutani juga menanam kelapa dengan teknologi baru agar cepat panen. Karena kebutuhan kelapa yang sangat besar," kata Eka, Rabu, 16 November 2022.
Arang batok kelapa digiling menjadi serbuk. Selanjutnya serbuk arang dimasukkan ke mesin mixer untuk dicampur dengan air dan tepung tapioka sebagai perekat. Adonan lebih dulu dimasukkan ke mesin blender sampai menjadi pulen. Barulah adonan hitam pekat itu dicetak menggunakan mesin sehingga menjadi potongan kecil-kecil berbentuk kubus.
Setiap potongan arang berbentuk kubus dengan ukuran berbeda, di antaranya ukuran 2,5 cm, 2,2 cm, 2,3 cm, 2,6 cm sampai 2,8 cm. Arang briket lebih dulu disortir sebelum dioven. Lamanya mengoven tergantung pada ukuran briket.
Terakhir, arang briket kelapa dikemas dengan boks 1 kilogram. Boks kecil kemudian dikemas lagi dengan dus 10 kilogram. Kapasitas produksi maksimal IKM ini mencapai 6 ton arang briket per hari.
Eka mengaku sempat terhantam pandemi Covid-19 selama dua tahun. Ketika itu kapasitas ekspornya anjlok dari 50 ton per bulan menjadi hanya 50 ton tiap empat bulan sekali. "Karena ketika itu biaya pelayarannya lebih mahal daripada arangnya. Sehingga buyer tak kuat beli. Waktu itu mau kirim ke Jerman, shiping cost-nya mencapai Rp300 juta. Akhirnya mereka beli ke Afrika Utara," jelasnya.
Saat ini meski biaya pelayaran masih tinggi, tambah Eka, kapasitas ekspor produk arang briket mengalami kenaikan. Ia mencontohkan biaya pelayaran ke Pelabuhan Dammam, Arab Saudi yang melonjak dari 13.000 dolar AS kini menjadi 4.500 - 5.000 dolar AS.
"Sekarang ekspor sudah naik menjadi 3 kontainer atau 75 ton per bulan. Omzet saat ini di angka Rp500-600 juta per bulan," ujarnya.
Briket buatan IKM binaan Eka ini diberi merek Silverco. Arang briket merek Silverco ini mempunyai kadar air 5 persen, abu pembakaran maksimal 2,5 persen, zat kotor atau volatile matter maksimal 13 persen dari batas aman 20 persen, kandungan karbon 85 persen, kalori 7.500 kcal/Kg, suhu yang dihasilkan 600 derajat celcius, serta ketika dibakar mampu bertahan hingga dua jam.
"Kalorinya lebih tinggi daripada batubara, kalau batubara di angka 4.000 sampai 5.000 kcal/kg" ungkapnya.
Advertisement