Mengintip Coblosan Gang Ndolly Lawas. Tak Ada Suit-Suit, Seperti Hambar Kurang Royco
Dolly. Atau, Gang Ndolly dek zaman lawas. Siapa tak mengenal? Pasti kenal lah… Kalau tak kenal biasanya orang akan bilang: kebangetan (hehehehe). Disertai dengan celetukan nakal: Ndolly ae gak kenal seh seh… Lanangan cap (maaf) taek a agak kenal Ndolly!
Itu dulu. Itu lawas. Itu Old. Dolly sudah berubah dahsyat cukup lama. Sekarang relatif klin. Tidak terlalu ruwet. Tidak juga sumpek. Masyarakat dalam radiusnya sudah seperti masyarakat lainnya, normal seperti kampung-kampung di Surabaya.
Coblosan Pilkada terakhir adalah 2014 lalu. Saat Pilpres, dan dimenangi telak oleh Jokowi yang wong Solo, Jawa Tengah itu. Saat itu Ndolly masih kategori transisi. Semula kampung yang sangat sibuk, lalu menjadi lengang mendadak karena penutupan permanen untuk aktivitas lokalisasinya.
Saat coblosan Pilpres 2014 suasana Ndolly sudah banyak berubah. Cendrung anyep, cenderung sepi, dan berjalan seperti TPS-TPS lainnya di seantero Surabaya. Padahal, pada momen-momen coblosan sebelumnya Ndolly selalu punya magnet. Selalu punya daya tarik. Sebab, peserta pencoblosnya termasuk para pendatang dan penghuni Ndolly.
Karena unik, karena punya magnet, karena banyak perempuannya, karena pencoblosnya cantik-cantik, senyum lebar, tawa-tawa sedikit nakal, tawa-tawa sedikit genit, suara suit-suit, hingga panggilan-panggilan sayang yang menggoda pasti mewarnai jalannya pencoblosan. Alhasil suasana menjadi renyah dan cukup menyenangkan.
Perempuan-perempuan penghuni Ndolly biasanya datang ke TPS dengan banyak variasi dandanan. Mulai kacamata lebar, penutup hidung, memakai topi hingga melesak ke separuh wajah dan seterusnya. Intinya, agar mereka tak mudah dikenali. Intinya adalah mereka agar tak terekspos secara fulgar. Karena mereka paham belaka, ada puluhan bahkan ratusan awak media menunggu momen itu untuk memberitakannya.
Meski wajah sudah disembunyikan, meski cukup sulit untuk mengindentifikasi profil satu-persatu toh mereka masih disuit-suit. Suitan-suitan tidak begitu menggoda sebenarnya, hanya menjadi semacam hiburan agar suasana coblosan tidak monoton. Penuh gelak tawa dan riang gembira. Agar coblosan juga tidak perlu rebut dan diarah-arahkan.
Kini, hari ini, 2018 ini, coblosan Pilkada berulang kembali. Kali ini adalah untuk memilih Gubernur Jawa Timur. Memilih antara pasangan calon Kofifah dam Gus Ipul. Siapa yang menang? Entahlah! Di TPS Ndolly juga siapa yang menang? Juga entahlah! Karena memang pada saat berita ini dirilis penghitungan belum juga dimulai. Yang jelas, tak banyak media yang meliput. Mungkin hanya ngopibareng.id saja yang menunggui denyut coblosan di wilayah ini.
Di Surabaya, TPS 049 persisnya, di Gang Ndolly itu, sejak pagi adem-ayem saja. Lebih adem ayem dari momen coblosan 2014 lalu. Senyap-senyap saja. Serasa hambar malahan, seperti masakan yang kurang Royco. Entah pada kemana orang-orang itu dulu ya? Apa para penghuni lawas itu tak ingin bernostalgia seperti sat lalu-lalu ya?
Yang jelas, menurut data panitia di TPS 049 itu, jumlah surat suara pemilih terdapat 399. Menurut panitia itu, biasanya, seperti tahun 2014 lalu, dari 399 surat suara yang datang paling hanya 180 orang. Itu pun sudah bagus.
“Suit-suit kenes itu sudah tak ada lagi mas. Sudah tak ada bekasnya. Sekarang yang nyoblos juga tak ada yang pakai penutup muka, kacamata, tutup hidung seperti orang pilek dan seterusnya. Sebab mereka semua adalah warga. Terdaftar. Tidak ada KTP pendatang seperti dulu. Memang sih dulu bisa ger-geran tertawa kalau penghuni Ndolly bisa ikut nyoblos. Dulu meriah betul. Kalau sekarang yang seperti ini,” jelas Mas Pe, demikian dia minta disebut.
Kalau misal bisa ger-geran seperti dulu bagaimana Mas? “Asyik juga sih, tapi sebaiknya jangan mas, nanti bisa dimarahi sama Bu Risma. Gaswat Mas!” kata dia. (idi)