Menghitung Langkah Kuda Politik SBY
Dua pekan ini ruang publik politik Indonesia dikejutkan oleh berita seputar Kudeta Ketua Umum Partai Demokrat AHY Alias Agus Harimurti Yudhoyono melalui dongkel paksa Kongres Luar Biasa (KLB). Kasus pendongkelan itu menarik, karena dilakukan oleh aparat penting negara yaitu Kepala Staf Kepresidenan RI, Moeldoko. Apapun alasannya, pendongkelan paksa itu jelas tidak memenuhi syarat etika publik.
Banyak janji-janji manis dan spekulasi yang diberikan kepada peserta KLB, mulai dari iming-iming uang Rp.100 juta tiap peserta hingga janji masa depan partai yang lebih baik. Namun faktanya di lapangan peserta hanya diberi uang transport Rp5 juta di awal dan Rp.5 juta diakhir KLB (baca pengakuan peserta).
Mantan Wakil Ketua DPC Demokrat Kota Kotamobagu, Gerald Piter Runtuthomas memberikan kesaksian selama mengikuti Kongres Luar Biasa (KLB) di Deli Serdang, Sumatera Utara. Dia mengakui tergiur iming-iming uang Rp 100 juta oleh penggerak KLB. Namun kenyataannya, para peserta KLB hanya mendapatkan uang Rp 5 juta saja. Karena tak sesuai janji, para peserta KLB memberontak.
Di tengah krisis pandemi Covid 19 ini, memang banyak orang terbuai dengan janji-janji manis. Ibarat terendam air bah, semua yang bisa menolong diambil saja meskipun pertolongan tersebut justru akan lebih mencelakakannya.
Sebagaimana KLB PD yang disponsori oleh 'istana" ternyata remuk berkeping-keping. Hal ini terjadi karena langkah-langkah Moeldoko dengan sejumlah penggerak KLB itu berjalan di luar kepantasan etika politik. Agak sulit rasanya jika pemerintah Jokowi kelak memaksakan begitu rupa untuk mengesahkan salah satu dualisme yang ada. Apa sebab? Karena SBY selaku pemain politik yang sangat terlatih memahami betul bahwa perlawanan politik harus di hadapi dengan perlawanan politik. Perlawanan politik jika dihadapi dengan perlawanan secara hukum pasti hanya akan dimenangkan oleh penguasa. Sepuluh tahun bertengger di Istana sangat memadai bagi SBY untuk memilih menempuh perlawanan atas perampokan partainya secara politik; bukan hukum!
***
Apa kira-kira dilakukan SBY terkait dongkel paksa anak kesayangannya dari kursi Ketua Umum Partai Demokrat yang didirikannya?
Pertama, SBY selaku komisaris utama Partai Demokrat melancarkan serangan ke jantung istana dengan mempertanyakan kepada Presiden Jokowi soal sepak terjang anak buahnya yakni Moeldoko. Apakah benar apa yang dilakukan Moeldoko untuk merebut Partai Demokrat itu atas kehendak Presiden Jokowi. Pertanyaan ke jantung kekuasaan itu sejatinya pilihan cerdas politik SBY. Namun seperti biasa, serangan SBY itu membuat Jokowi tak bergeming. Jokowi menjawab enteng dengan mengutus Mensesneg Pratikno bahwa soal KLB itu adalah urusan internal partai Demokrat. Presiden tidak bersedia untuk menjawabnya. Padahal secara psikologis, seorang Moeldoko dalam statusnya sebagai Kepala Kantor Staf Kepresidenan itu tidak akan berani melakukan tindakan politik luar biasa tanpa seijin atau paling tidak sepengetahuan Presiden, bukan? Itu perkiraan akal sehat saja. Namun bisa saja Moeldoko berkelit bahwa itu tidak ada urusannya dengan Jokowi. Bahkan seperti yang diakui selama ini kegiatannya dianggap sebagai aksi politik pribadi belaka.
Serangan kedua SBY atau kubu partai Demokrat adalah menggelar konferensi pers bahwa KLB di Sibolangit itu adalah KLB ilegal dan menegaskan kembali bahwa Agus Harimurti Yudhoyono adalah Ketua Umum Partai Demokrat yang sah secara konstitusi dan diakui keberadaannya oleh pemerintah lewat Menkumham RI.
Serangan ini juga bermaksud memukul mundur Moeldoko sekaligus Jokowi, bahwa tidak pantas seorang aparatur negara melakukan tindakan memecah belah persatuan dengan merampas secara paksa kepemimpinan Partai Demokrat hanya karena desakan kelompok kepentingan internal partai Demokrat Jhonny Allen Marbun Cs. Adalah tidak pantas aparatur negara yang seharusnya mengayomi, justru secara aktif ikut memecah belah.
Serangan ketiga PD adalah menggerakkan jaringan kader dan pengurus untuk melakukan perlawanan terhadap Moeldoko sebagai Ketua Abal-abal. Bahkan, Salah satu kader Partai Demokrat yaitu Bupati Serang akan mengirim santet ala Banten kepada Moeldoko. Serangan ini cukup menarik perhatian publik karena istilah mengirim santet kepada lawan politik adalah frasa yang tabu untuk disampaikan ke ruang publik. Nampaknya, Moeldoko kelabakan dan sedikit banyak menaruh rasa malu.
Keempat, yaitu serangan para kader Partai Demokrat ke Istana Presiden dengan membawa ratusan mobil. Mereka berteriak lantang agar Presiden Jokowi segera memecat Moeldoko selaku Kepala Sekretariat Kantor Kepresidenan. Apakah hal itu efektif secara politik? Rasa-rasanya, jika nalar politik normal berjalan, maka Jokowi akan mengambil langkah pengamanan diri demi memperrahankan kekuasaannya dengan mengorbankan Moeldoko. Sebab sebagai anak buah, Moeldoko bekerja tidak profesional dalam men- tak over partai politik. Moeldoko terlihat terlalu kasar dalam melaksanakan proyek pengambilalihan PD tersebut. Meski banyak juga simpati rakyat yang membela SBY dan Parrai Demokrat, namu tidak sedikit yang menilai bahwa apa yang dilakukan Moeldoko adalah bentuk balasan hukuman karma dari yang dilakukan SBY sebelumnya.
Merajut Kekuatan Oposisional
Kelima, ditengah pro kontra seputar pendongkelan AHY dari kursi nomor satu partai berlambang Mercy itu, saya menduga SBY sedang membangun soliditas perkawanan baru dengan orang-orang atau kelompok-kelompok oposisi yang sudah tersedia sebelumnya. Misalnya secara institusional adalah PKS. PKS selama ini mengambil posisi oposan terhadap kekuasaan Jokowi. Bagi SBY, membangun kembali aliansi dengan PKS bahkan mungkin dengan partai lainnya seperti PKB dan PAN bukanlah hal yang sulit. SBY dapat memanggil atau mengajak dialog pimpinan PKS untuk menghitung ulang kekuatan oposisional dalam parlemen bersama demokrat demi penyelamatan bangsa. PKS pernah lama bekerja secara baik dengan partai demokrat selama kurang lebih 10 tahunan. Meski tidak berkuasa lagi sebagai Presiden, SBY sedikit banyak masih memiliki daya panggil terhadap partai partai koalisinya dulu.
SBY juga bisa mengajak PAN melalui Hatta Rajasa untuk mempengaruhi Zulkifli Hasan. Apalagi Hatta Rajasa juga memiliki kekuasaan di Kepengurusan baru kabinet kedua Zulkifli Hasan. Hatta Rajasa yang notabene besan SBY itu juga tergolong politisi yang licin dan lihai serta loyal terhadap SBY. Potensi kedekatan Hatta dengan SBY merupakan amunisi politik yang bisa didayagunakan untuk membangun perlawanan pada rezim Jokowi. Bukan hanya PKS dan PAN, SBY juga bisa memperluas ruang dialog dan percakapan politik dengan PKB. Muhaimin selaku bos PKB sudah lama bekerja sama dengan SBY selama kurang lebih 10 tahun. SBY tahu betul bagaimana aliansi dengan Muhaimin dihidupkan kembali. Perlu diingat bahwa tampilnya Muhaimin menjadi ketua PKB adalah berkat bantuan SBY dalam mendongkel Gus Dur yang dinilai oleh kelompok Muhaimin sebagai batu sandung utama munculnya generasi muda NU dalam politik nasional. Merebut kekuasaan politik NU dari mitos dan bayang-bayang kebesaran Gus Dur diyakini kelompok muda barisan Muhaimin sebagai langkah terobosan yang harus dilakukan.
Jika tidak maka dinasti politik Hasyim akan terus bertengger dalam politik NU. Tampilnya Muhaimin bisa dibaca dalam konteks memutus mata rantai dinasti Hasyim di tubuh NU. Faktanya benar, dengan kenekatan Muhaimin dan bantuan SBY saat itu, kelompok dinasti Hasyim tidak tumbuh subur dalam PKB. Geng alumni PMII yang lebih berkuasa menentukan hitam putihnya PKB. Nah, rasa-rasanya SBY akan memanfaatkan peluang hubungan dan jasa politik SBY tersebut sebagai pintu masuk membawa kembali Muhaimin ke pangkuan SBY. Meski jasa SBY tersebut dianggap karma politik bagi Demokrat, namun dalam praksis politik semua resources yang ada dan pernah ada akan tetap berguna. Hal itu sangat tergantung dari bagaimana seorang koki politik memasaknya hingga menjadi orkestra yang indah. Saya pribadi melihat SBY memiliki kemampuan untuk mengorkestrasinya.
Simbol Kelompok Oposisi
Keenam, secara tipikal, SBY adalah tokoh nasional bahkan internasional dengan karakteristik solidarity maker. Jam terbangnya dalam dunia intelijen serta relasi politik internasionalnya, terutama dengan tokoh-tokoh politik penting di Amerika Serikat sangat potensial jika SBY menjadi simbol dari kelompok oposisi.
Kita semua tahu bahwa kecenderungan politik Joko Widodo yang pro terhadap China akan menjadi pintu masuk bagi terbangunnya soliditas politik diantara kelompok oposan di Indonesia. Prasyarat dasar bagi tumbuhnya kekuatan oposisional tersebut tersedia luas dalam masyarakat akibat berbagai ketidakpuasan dan korupsi politik yang menyeruak dalam masyarakat.
Jika SBY jeli melihat ketidakpuasan tersebut untuk dijadikan modal politik membangun solidaritas kelompok oposisi. Saat ini kelompok oposisi tersebut terdapat bermacam-macam seperti Kelompok Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), kelompok kritis yang diidentifikasi sebagai Kampret dan kadrun, kelompok Ormas Islam non NU struktural seperti FPI, Hizbut Tahrir, dan para simpatisan korban pembunuhan sadis 6 lasykar FPI. Jika seluruh kekuatan oposisi berhasil dimobilisasi oleh SBY atas nama Menyelamatkan negara dari kehancuran, maka gelombang politik besar akan segera terjadi. Mungkin gelombang itukah yang disinyalir mistikus Mbakyu sebagai Gerakan Politik Ketidakpuasan yang disebut Lengser? Mari kita lihat nanti, sebab gelombang masih terus beriak.
Fathorrahman Fadli
Direktur Eksekutif Indonesia Development Research/IDR, Dosen Fakultas Ekonomi, Universitas Pamulang.
Advertisement