Menghitung Hari Baik-Buruk, Benarkah Termasuk Syirik?
Dalam kebiasaan orang Jawa, dalam melakukan sesuatu selalu dipraktikkan dengan menghitung hari baik. Ustad, bagaimana hukumnya menghitung hari baik dan hari buruk, seperti berpedoman pada Primbon, dll. Apakah termasuk syirik?”
Demikian pertanyaan Irawan Hamid, warga Ngagel Rejo Surabaya pada ngopibareng.id. Untuk menanggapi hal itu, berikut ngopibareng memberikan jawaban lengkap sebagai berikut:
“Salah satu fenomena yang marak di Indonesia, utamanya Jawa, adalah pemakaian Primbon yang berisi banyak perhitungan tentang hari baik dan hari buruk. Banyak masyarakat yang hingga kini menyelenggarakan pernikahan, memulai menanam komoditas pangan, membangun rumah dan hajatan lain-lain bergantung pada perhitungan Primbon.
“Bila hasil hitungannya baik, maka hajatannya dilanjutkan. Namun bila hitungannya menghasilkan hasil buruk, maka dicarikan hari lain. Perhitungan semacam ini juga banyak didapati di budaya non-Islam, semisal budaya Tiongkok dengan Feng-Shui-nya.”
Demikian penjelasan Ustadz Abdul Wahab Ahmad, Wakil Katib PCNU Jember. Berikut penjelasan lengkap Peneliti di Aswaja NU Center Jember Ini:
Bagaimanakah perhitungan baik-buruk semacam ini bila dilihat dari kacamata tauhid? Apakah hal semacam ini berkonsekuensi pada kesyirikan (penyekutuan Allah) ataukah tidak?
Dalam hal ini, para ulama berbeda pendapat. Namun pendapat yang kuat adalah penjelasan Imam Syafi’i sebagaimana dinukil Syekh Burhanuddin bin Firkah berikut:
إِن كَانَ المنجم يَقُول ويعتقد أَن لَا يُؤثر إِلَّا الله لَكِن أجْرى الله تَعَالَى الْعَادة بِأَنَّهُ يَقع كَذَا عِنْد كَذَا والمؤثر هُوَ الله فَهَذَا عندى لَا بَأْس بِهِ وَحَيْثُ جَاءَ الذَّم ينبغى أَن يحمل على من يعْتَقد تَأْثِير النُّجُوم وَغَيرهَا من الْمَخْلُوقَات انْتهى
“Apabila ahli nujum itu berkata dan meyakini bahwasanya tidak ada yang dapat memberi pengaruh [baik-buruk] selain Allah, hanya saja Allah menjadikan kebiasaan bahwa terjadi hal tertentu di waktu tertentu sedangkan yang dapat memberi pengaruh hanyalah Allah semata, maka ini menurutku tak mengapa. Celaan yang ada terhadap hal ini seyogyanya dibawakan dalam konteks apabila diyakini bahwa bintang-bintang itu atau makhluk lainnya bisa memberikan pengaruh [baik-buruk].” (Tajuddin as-Subki, Thabaqât as-Syâfi’iyah al-Kubrâ, juz II, halaman 102)
"Perhitungan waktu baik-buruk ini biasanya diyakini sebagai ramalan yang pasti terjadi di masyarakat sehingga seolah meyakini bahwa bintang-bintang, atau tanda-tanda apapun dapat memberikan pengaruh baik atau buruk dengan sendirinya. Hal seperti ini jelas kesyirikan."
Sebagian ulama lain, di antaranya adalah Syekh Kamaluddin bin Zamlakani, mengharamkan hal ini secara mutlak sebab memang sepintas menuju pada kesyirikan. Perhitungan waktu baik-buruk ini biasanya diyakini sebagai ramalan yang pasti terjadi di masyarakat sehingga seolah meyakini bahwa bintang-bintang, atau tanda-tanda apapun dapat memberikan pengaruh baik atau buruk dengan sendirinya. Hal seperti ini jelas kesyirikan.
Namun, menurut analisis Imam as-Subki, pandangan menggeneralisir semacam ini tidak tepat. Beliau menyangka bahwa Syekh Kamaluddin bin Zamlakani tidak membaca uraian Imam Syafi’i yang memperincinya sebagaimana di atas. (Tajuddin as-Subki, Thabaqât as-Syâfi’iyah al-Kubrâ, juz II, halaman 102)
Hanya saja, harus diakui bahwa praktik semacam ini beresiko pada ketergelinciran dalam hal aqidah. Para ahli nujum, yang biasanya merumuskan perhitungan seperti ini, banyak yang tidak paham soal aqidah sehingga para ulama senantiasa memperingatkan agar tidak mendatangi atau mempercayai mereka.
Syekh Taqiyuddin al-Hishni menjelaskan:
المنجم في عرف الناس كهؤلاء الذين يضربون بالرمل فإنهم فسقة ومنهم من يكون سيىء الاعتقاد وهو زنديق كافر وقد صح عن رسول الله صلى الله عليه و سلم أنه قال من أتى عرافا لم تقبل له صلاة أربعين يوما
“Para ahli nujum dalam kebiasaan yang ada di masyarakat, seperti orang-orang yang mengundi nasib dengan kerikil, adalah orang-orang fasik. Sebagian mereka ada yang aqidahnya buruk, dia yang demkian adalah zindiq dan kafir. Padahal telah sahih dari Nabi Muhammad ﷺ bahwa beliau bersabda: Siapa yang mendatangi tukang ramal, maka tak diterima shalatnya selama empat puluh hari.” (Taqiyuddin al-Hishni , Kifâyat al-Akhyâr, halaman 138)
Dari nukilan di atas dapat dilihat bahwa Syekh Taqiyuddin al-Hishni tidak memutlakkan semua ahli nujum sebagai orang yang pasti salah, namun beliau melihat realita yang ada di masyarakat bahwa sebagian besar dari mereka adalah orang fasik (ahli maksiat) dan sebagian lagi bahkan ada yang aqidahnya bermasalah, seperti yang disinggung Imam Syafi’i di atas.
Dengan demikian, maka perlu ketelitian dan kecermatan untuk menjatuhkan vonis syirik atau lain sebagainya kepada masyarakat yang meyakini perhitungan seperti ini. Namun secara garis besar, tindakan semacam ini sebaiknya dijauhi. Wallahu a'lam. (adi)