Menghafal dan Menalar
oleh: Husein Muhammad
Menghafal atau hafalan teks-teks keagamaan belakangan makin berkembang dan menjadi tren. Metode menghafal ini menjadi tradisi di dunia pendidikan pesantren berabad-abad sampai hari ini. Tidak hanya menghafal Al-Quran, tetapi juga Ilmu pengetahuan, baik yang dikemas dalam narasi prosais maupun puitis.
Dalam sebuah obrolan santai, seorang teman bertanya apakah metode hafalan menghasilkan daya nalar kritis?. Aku bilang bahwa aku sudah menulis panjang soal isu ini.
Mungkin menarik untuk dikemukakan kembali pandangan Al-Jahiz, Abu Utsman Amr, (w. 868 M), seorang sastrawan, zoolog, dan teolog Mutazilah terkemuka dan filsuf. Dia menulis dalam bukunya yang terkenal : "Rasail Jahizh" :
متى ادام الحفظ اضر ذلك بالاستنباط ومتى ادام الاستنباط اضر ذلك بالحفظ
"menekankan kebiasaan menghapal bisa mengurangi kemampuan menganalisis, dan kebiasaan menganalisis bisa mengurangi kemampuan menghapal". (Rasail al-Jahizh).
Pernyataan al-Jahizh di atas mungkin dapat berarti bahwa orang yang banyak menghapal atau kuat hapalannya, pada umumnya kurang cerdas atau tidak cukup mampu berpikir rasional. Dan orang yang banyak berpikir atau seorang rasionalis pada umumnya tidak banyak hapalan atau hapalannya lemah.
Tetapi boleh jadi ada orang yang dianugerahi keduanya dalam porsi yang sama: kuat dalam hapalan sekaligus cerdas. Sejumlah ulama dahulu ada yang memiliki kemampuan dua-duanya, seperti Imam Abu Hanifah, Imam al-Syafi'i, Imam al-Ghazali dan lain-lain.
Lalu mana yang lebih baik dilakukan atau diutamakan jika kedua keinginan tersebut berhadapan?. Lebih baik memilih yang hapalan atau yang berpikir rasional?.
Ada pertanyaan lain yang menarik, mana dari kedua metode tersebut yang bisa mengembangkan dinamika kehidupan?.
Kita makin membutuhan Cinta
Aku melihat : Kegalauan, kecemasan, kemarahan, amok, kebencian dan frustasi tampaknya tengah melanda banyak orang di negeri ini. Ada sebuah istilah untuk fenomena ini yang belakangan jadi populer. Yaitu ODGJ.
Boleh jadi ini merupakan tanda dan indikasi dari jiwa-jiwa yang dilanda situasi psikologi skizofrenia.
Ia adalah sebuah gangguan kejiwaan dan kondisi medis yang memengaruhi fungsi otak manusia, mengusik fungsi normal kognitif, emosional dan perilaku.
Kita harus bisa dengan segera membebaskan situasi kejiwaan yang akut ini. Jika tidak, masa depan kita adalah kengerian-kengerian yang mungkin tak tertanggungkan. Kita memerlukan cahaya, pencerahan intelektual dan kebeningan spiritual. Lalu aku menekankan : "Kita makin membutuhkan cinta”.
Dan aku mengutip kata-kata indah Maulana Jalaluddin Rumi :
ان الحب هو الذى يحول المر حلوا والتراب تبرا والكدر صفاء والالم شفاء والسجن روضة وهو الذى يلين الحديد ويذيب الحجر ويبعث الميت وينفخ فيه الحياة.
Cintalah yang mengubah pahit menjadi manis, tanah menjadi butir-butir permata, yang keruh menjadi bening, yang sakit menjadi sehat, penjara menjadi taman bunga.
Cintalah yang mampu melenturkan besi, menghancurkan bebatuan, menghidupkan yang mati dan mengembuskan ruh kehidupan. (Rumi). (29.03.23/HM).
KH Husein Muhammad
Kiai pesantren komitmen ide kesetaraan jender. Pengasuh Pondok Pesantren Dar-el Quran, Arjawinangun Cirebon, Jawa Barat.