Menghadapi Caci-Maki, Biarkan si Safih Berceloteh
Di media sosial, cukup banyak orang-orang yang dengan mudah melakukan caci-maki, berceloteh menghina lainnya. Bahkan banyak di antara mereka mengumbar kebencian.
Lalu bagaimana kita menyikapi hal itu? Catatan Kiai Husein Muhammad berikut memberi gambaran menarik untuk menghadapi media sosial dan pernik-perniknya:
Seorang teman baik, menginfornasikan sambil mengirimkan youtube, tentang celoteh caci-maki dan sumpah serapah seseorang. Ia meminta responku. Aku bilang : tak perlu dijawab.
Aku telah lama membaca "Diwan al Syafii" puisi-puisi Imam Syafi'i. Beliau adalah tokoh besar dan panutan muslim dunia dalam fiqh (hukum Islam). Suatu hari ia dicaci-maki oleh mereka yang tak paham atau "safih" (pandir, dungu). Ia tak ingin membalasnya. Lalu ia menulis puisi indah :
إذا نطق السفيهُ فلا تُجبْهُ ** فخيرٌ من إجابته السكوتُ
"Bila orang "dungu" bicara, tak usah kau jawab. Jawaban yang terbaik adalah diam"
Di tempat lain ia menulis :
يُخَاطِبُنِي السَّفِيْهُ بِكُلِّ قُبْحٍ
فَأَكْرَهُ أَنْ أَكُوْنَ لَهُ مُجِيْبًا
يَزِيْدُ سَفَاهَةً فَأَزِيْدُ حُلْمًا
كَعُوْدٍ زَادَهُ الْإِحْرَاقُ طِيْبًا
“Orang pandir menyerang aku dengan kata-kata kasar. Maka aku tidak ingin menjawabnya. Dia bertambah pandir dan aku bertambah sabar. Aku bagai kayu gaharu saat dibakar ia menebarkan aroma wangi”. (Diwan Asy-Syafi’i, hal. 156).
Catatan : Kata "safih" berarti orang yang berpikir dangkal dan bertindak bodoh (tanpa lebih dahulu memikirkan dampaknya). Ia tak paham tetapi mengaku paham. Ia tak merasa salah, padahal salah.
Memperebutkan Makna
Perdebatan di sekitar pemahaman atau pemaknaan atas suatu teks atau suatu obyek merupakan perdebatan yang sangat klasik. Ia muncul sejak manusia mulai berfikir dan berkebudayaan. Ia berlangsung bukan hanya dalam masyarakat muslim, tetapi juga di dalam semua penganut semua agama.
Dalam masyarakat muslim, perdebatan itu telah melahirkan sekte-sekte, aliran-aliran pemikiran keagamaan bahkan ideologi-ideologi, dalam berbagai dimensinya. Pada dimensi fiqh, dikenal dua aliran besar, ahl al-hadîts dan ahl al-ra’y. Aliran pertama memperlihatkan pemahaman atas teks-teks keagamaan cenderung lebih tekstualis (harfiah/literal) dan mempercayai sumber berita, sementara aliran yang kedua lebih rasional dan lebih melihat kandungan (isi) dari informasi teks tersebut. Banyak orang menyebut yang pertama sebagai aliran tradisionalis, dan yang kedua, aliran rasionalis.
Ada pertanyaan-pertanyaan yang selalu disampaikan orang: Apakah teks harus diterima menurut arti lahiriahnya atau bisa di-ta’wîl (tafsîr)? Apakah hukum-hukum yang terdapat dalam teks bisa ditanyakan “mengapa’? atau tidak bisa?. Atau dalam bahasa Arab dikatakan :
هل الاحكام معللة بعلة ام لا
(hal al-ahkâm mu’allalah bi ‘illah am lâ)?
Apakah akal bisa bertentangan dengan wahyu? Bagaimana jika bunyi teks berlawanan dengan logika-rasional atau dengan realitas empiris, manakah yang harus diprioritaskan? Pertanyaan-pertanyaan ini selalu saja dijawab dengan pandangan yang beragam dengan argumentasinya masing-masing.
Tak ada perbedaan dalam Tujuan
Sesungguhnya kedua aliran tersebut tidak jauh berbeda dalam semangat dan tujuannya. Semuanya sepakat bahwa hukum-hukum Islam adalah untuk mewujudkan kebaikan, keadilan dan menegakkan kemaslahatan (kesejahteraan) manusia. Kebaikan, Keadilan dan kemaslahatan (kesejahteraan) adalah tuntutan umat manusia di tempat manapun dan pada zaman kapanpun. Kita menemukan paradigma ini pada semua ahli fiqh Islam. Izz al-Din bin Abd al-Salam ( 578-606 H), berpredikat ‘Sulthan al-Ulama” (Sultan para ulama), mengatakan :
"التكاليف كلها راجعة الى مصالح العباد فى دنياهم وأخراهم. "(قواعد الاحكام فى مصالح الانام,
“Semua hukum Tuhan ditetapkan untuk kemaslahatan hamba-hamba-Nya di dunia maupun akhirat”. (Qawa’id al-ahkam fi Mashalih al-Anam, Juz II, hlm. 73)
Di tempat lain al-Izz mengatakan :
كل تصرف تقاعد عن تحصيل مقصوده فهو باطل
“Setiap tindakan atau keputusan hukum yang tidak menghasilkan tujuannya, maka ia batal dengan sendirinya”. (Qawa’id al-Ahkam, II, hlm. 121)
Advertisement