Menghadap Kiblat Bukan Sekadar Fisik, Masukilah Dimensi Ruhani
Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir mengatakan, Islam sukses membangun peradaban semesta karena ajaran ini mengandung nilai-nilai yang melintasi segala hal. Ajaran akidah, ibadah, dan akhlak bersenyawa dengan urusan mu’amalah dunyawiyah.
"Sehingga melahirkan dimensi kaffah dari risalah yang dibawa Nabi akhir zaman itu sebagai rahmatan lil-‘alamin," tuturnya.
Menurutnya, memahami Islam pun tidak cukup dengan tafsir bayani (tekstual), tetapi dengan burhani (rasional-kontekstual) dan irfani (spiritual ihsan) sehingga melahirkan pandangan Islam multidimensi dan multiperspektif.
"Cermatilah dengan saksama salah satu ajaran tentang ibadah dalam Islam. Ibadah shalat, misalnya, tidak cukup berhenti dalam aspek rukun tentang tata cara dan tempat, tetapi sekaligus menyangkut dimensi khusyuk dan tahnisah (fungsi kebaikan) dari ibadah wajib lima kali sehari itu," tutur Haedar Nashir.
Dalam beribadah, selain harus mencapai taqarrub kepada Allah, niscaya melahirkan amal saleh, dan tidak menjadikan diri terbelenggu kemusyrikan, sebagaimana firman-Nya:
“Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal saleh dan janganlah ia mempersekutukan pada apa pun dalam beribadah kepada Tuhannya" (QS Kahfi: 110). Shalat harus membuahkan “tanha ‘an al-fahsya wa al-munkar”.
Dalam rukun shalat dan ibadah pun terbuka banyak kaifiyah atau cara yang memudahkan demi tercapainya kemaslahatan hidup manusia. Mushala dan masjid bukan sekadar wujud bangunan fisik tertentu, tetapi sebagai tempat shalat dan sujud di manapun berada.
Di dalam beribadah, terdapat rukhsah atau keringanan, kemudahan, dan kekecualian lebih-lebih di kala keadaan darurat. Ibadah bukan untuk ibadah. Shalat bukan untuk shalat. Di balik itu, terdapat tujuan hakiki mendekatkan diri kepada Allah dan melahirkan ihsan pada kemanusiaan dan kehidupan semesta.
"Dari ibadah itu lahir pencerahan kehidupan. Ketika kaum Muslim shalat menghadap Baitul Maqdis, Nabi diperintahkan mengganti arah kiblat ke Ka'bah di Masjidil Haram, Makkah. Saat itu sebagian Muslim mualaf, menurut riwayat Ibnu Abbas, ada yang menjadi murtad," kata Haedar Nashir.
Allah kemudian menurunkan ayat Alquran surah al-Baqarah 143 -144, yang intinya arah shalat itu menguji keimanan, ibadah, dan ketaatan Muslim terhadap Allah dan Rasulnya lebih dari sekadar formalitas. Insan Muslim bahkan diidealisasikan agar menjadi sosok “ummatan wasatha litakuunu syuhada ‘ala al-nas”, sebagai umat tengahan yang menjadi saksi bagi kehidupan.
Menghadap Kiblat dalam shalat pun bukan sekadar fisik, tetapi harus masuk ke dimensi ruhani yang hakiki dan kebaikan yang diproduksi. Dalam surah al-Baqarah Allah berfirman yang artinya:
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS al-Baqarah: 177).
Ibadah bagi setiap Muslim niscaya melahirkan kesalihan individual dan sosial lebih dari sekadar formalitas dan rutinitas fisik. Sejalan dengan hakikat Islam sebagai agama penebar rahmat bagi kehidupan. Hatta di kala krisis yang melanda umat manusia sebuana, Islam dan segala perangkat keagamaannya niscaya memberi jalan keluar. Agama, tulis Peter L Berger, harus menjadi “the sacred canopy” atau langit pelindung suci di kala kehidupan dilanda “chaos” dan “anomie”.
Risalah Nabi di kala krisis wabah (tha’un) yang menimbulkan “chaos” dalam jagat kemanusiaan semesta adalah wujud dari kanopi suci Islam dalam memberi solusi. Rasul memberi pedoman: “Jika engkau mendengar wabah di suatu tempat, maka engkau jangan ke sana, jika menimpa di tempatmu janganlah keluar”, “yang sakit jangan dicampur dengan yang sehat”, serta “jangan melakukan hal mudharat dan menimbulkan memudharatan”.
Tuntunan keagamaan Nabi itu lebih dari cukup sebagai resep hadapi kesusahan hidup. Semua tergantung pada obligasi moral, wawasan, pikiran, dan tindakan kaum Muslim sendiri. Ingatlah tugas utama kaum Muslim selain beribadah ialah menjalankan peran kekhalifahan di muka bumi. Di sinilah kehadiran Islam sebgai risalah kehidupan!