Menggugat Penggunaan Atsar Sahabat tentang Tradisi
Belakangan muncul sejumlah persoalan di kalangan umat Islam, khususnya ahli fikih, antara hadis dan atsar. Bagi masyarakat umum, hal ini merupakan persoalan khusus yang tak mudah dipahami.
Soal atsar bagi sebagian ulama fikih, teks ini memang populer sebagai hadis. Namun al-Hafidz al-Suyuthi menegaskan bahwa teks tersebut bukan hadis, namun atsar dari Abdullah bin Mas’ud.
Terkait hal ini, Ust Ma'ruf Khozin, Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatul Ulum Suramadu, Bangkalan, memberi penjelasan cukup menarik berikut:
Ini kali kedua saya mendapat teguran soal status di Facebook (FB). Bukan lantaran banyak literasi justru karena hanya tahu dari ustadznya saja kemudian menyalahkan dalil yang saya bawakan, riwayat Sahabat Ibnu Mas'ud (silahkan baca di status sebelum ini). Dan sepertinya saya membuat jawaban ini untuk yang terakhir bagi beliau.
Kalau ulama Syafi'iyah jelas menerima riwayat tersebut sebagai dalil, terlebih dalam kaedah fikih berbunyi "Tradisi dinilai kuat: العادة محكمة". Berikut beberapa penjelasan ulama lain:
اِنَّ الشَّرْعَ اعْتَبَرَ عَادَةَ النَّاسِ لِقَوْلِهِ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ مَا رَآهُ الْمُؤْمِنُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ تَعَالَى حَسَنٌ (مجمع الأنهر في شرح ملتقى الأبحر الشيخ زاده الحنفي – ج 5 / ص 361)
“Sesungguhnya syariat membenarkan tradisi umat Islam, sesuai sabda Nabi: Apa yang dilihat baik oleh kaum mukminin, maka baik pula bagi Allah” (Majma’ al-Anhar 5/361)
وَعُرْفُ الْمُسْلِمِينَ وَعَادَتُهُمْ حُجَّةٌ مُطْلَقَةٌ قَالَ النَّبِيُّ : عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ مَا رَآهُ الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ (بدائع الصنائع في ترتيب الشرائع علاء الدين الحنفي - ج 11 / ص 437)
“Kebiasaan umat Islam dan tradisinya adalah sebuah dalil. Nabi bersabda: Apa yang dilihat baik oleh umat Islam, maka baik pula bagi Allah” (Badai’ al-Shanai’ 11/437)
Fatwa Ulama
Hal ini dibuktikan dengan fatwa ulama Al-Azhar, Mesir:
وَهَذَا الْأَثَرُ اسْتَدَلَّ بِهِ جُمْهُوْرُ الْعُلَمَاءِ عَلَى أَنَّ الْعُرْفَ حُجَّةٌ فىِ التَّشْرِيْعِ وَلَكِنْ بِشَرْطِ عَدَمِ تَعَارُضِهِ مَعَ النُّصُوْصِ الصَّرِيْحَةِ وَالْأُصُوْلِ الْمُقَرَّرَةِ .... قَالَ الْعُلَمَاءُ : إِنَّ الْعُرْفَ لَا يُؤْخَذُ بِهِ إِلَّا بِشُرُوْطٍ مِنْهَا أَنْ يَكُوْنَ مُطَّرِدًا أَوْ غَالِبًا أَىْ شَائِعًا بَيْنَ الْكَثِيْرِيْنَ مَعَ مُرَاعَاةِ أَنَّ لِكُلِّ جَمَاعَةٍ عُرْفَهَا وَمِنْهَا أَلَّا يَكُوْنَ مُخَالِفًا لِنَصٍّ شَرْعِىٍّ كَشُرْبِ الْخَمْرِ وَلَعْبِ الْمَيْسِرِ وَالتَّعَامُلِ بِالرِّبَا ...
Atsar ini dijadikan dalil oleh mayoritas ulama bahwa urf atau kebiasaan adalah sebuah dalil dalam agaman, namun dengan syarat tidak bertentangan dengan ajaran agama dan kaidah ushul yang telah ditetapkan... ulama berkata: Urf atau kebiasaan tidak digunakan kecuali dengan beberapa syarat, di antaranya harus berlaku secara umum oleh kebanyakan orang, serta melestarikan kebiasaan masing-masing. Di antaranya juga tidak bertentangan dengan dalil agama, seperti minum khamr, permainan judi dan transaksi riba...” (Fatawa al-Azhar 10/336)
Soal Atsar di atas bagi sebagian ulama fikih, teks ini memang populer sebagai hadis. Namun al-Hafidz al-Suyuthi menegaskan bahwa teks tersebut bukan hadis, namun atsar dari Abdullah bin Mas’ud (al-Asybah wa al-Nadzair 1/164).
Mengapa sebagian Fuqaha menyebut sebagai hadis? Hal ini sudah lumrah di kitab-kitab klasik:
قول الصحابي فيما لا مجال فيه للرأي والاجتهاد له حكم الرفع إلى النبي - صلى الله عليه وسلم -
Pendapat Sahabat yang tidak ada peluang sebagai pendapat pribadi atau ijtihad maka statusnya disandarkan kepada Nabi shalallahu alaihi wasallam.
*Maksud kurang ajar di kolom chat adalah kurang belajar. "Ajar" dalam bahasa Jawa adalah belajar.
Demikian penjelasan Ust Ma'ruf Khozin, yang juga Ketua Komisi Fatwa MUI Jawa Timur. Semoga bermanfaat. Amiin.
Advertisement