Menggugat Hari Jadi Surabaya, Ini Pendapat Pakar Sejarah
Jelang peringatan Hari Jadi Kota Surabaya, Komunitas Begandring Soerabaia menggelar diskusi mengusung topik ‘Menggugat Hari Jadi Kota Surabaya’ secara virtual dan tatap muka pada Senin, 31 Mei 2021.
Acara ini menghadirkan sejumlah pembicara di antaranya Arkeolog BPCB Jatim Wicaksono DM, Penulis Buku Sejarah Surabaya Nanang Purwono, dan Peneliti Partikelir TP Piknik Wijoyo. Hadir pula Wakil Walikota Surabaya Armuji.
Diskusi yang jurnalis Kuncarsono Prasetyo ini dimulai dengan paparan penulis buku sejarah Surabaya Nanang Purwono. Dalam paparannya, Nanang membuka keraguannya terhadap hari jadi kota Surabaya yang diperingati setiap 31 Mei.
Nanang mempertanyakan kebenaran fakta empiris hari ulang tahun. Sementara, Pemkot Surabaya pada tahun 1973 mulai berpikir membentuk panitia khusus membahas hari jadi.
Hingga akhirnya terbitlah Surat Keputusan (SK) Walikota Madya nomor 64/WK/75 tanggal 18 Maret 1975. Dalam surat tersebut, merujuk pada klausul hasil kajian ditetapkan hari jadi Kota Surabaya pada 31 Mei 1293.
Pada saat itu tanggal 31 Mei 1293 terjadi peristiwa besar yaitu Raden Wijaya menumbangkan tentara Mongolia di tanah perdikan Surabaya.
"Kajian asal-usul Surabaya ini terjadi lama hingga pergantian pemimpin, dari Soekotjo ke Soeprano pada tahun 1974-1979. Peringatan hari ulang tahun Surabaya digelar tahun 1975. Tapi ini masih perlu dikaji ulang, bisa jadi ada fakta sejarah yang lebih kuat muncul," kata Nanang.
Diskusi kemudian dilanjutkan dengan pemaparan peneliti partikelir TP Piknik Wijoyo. Menurut Wijoyo cikal bakal Surabaya telah tertulis di Prasasti Canggu atau Trowulan satu. Dalam prasasti itu tertulis kata Surabaya pertama kali disebutkan dalam sejarah.
"Kata Surabaya pertama kali ada di prasasti Canggu. Dalam prasasti itu tertulis hari jadi Surabaya pada 7 Juli 1358," katanya.
Pendapat berbeda dilontarkan Arkeolog BPCB Jawa Timur, Wicaksono DN. Wicaksono mengajak peserta menyamakan persepsi dengan menjelaskan definisi hari jadi.
Apakah yang dimaksud hari jadi itu pertama kali lahirnya atau justru proses sebelum lahir. Sebagai sumber, Wicaksono menelaah temuan yang ada di buku Nagarakretagama karya Empu Prapanca.
"Kalau yang disebut hari jadi itu pas brojol (lahir dari rahim), anggapan Surabhaya ada tanggal 31 Mei 1293 itu gugur. Saat itu Surabhaya masih disebutkan sebagai desa. Di kitab Nagarakretagama Surabaya menjadi kota itu pada tahun 1365," kata Wicaksono.
Namun, pria berbaju hitam itu mengatakan masih perlu dilakukan kajian lebih lanjut. Terlebih yang tertulis di kitab adalah Surabhaya bukan Surabaya.
Wicaksono menyangsikan, apakah kedua kata tersebut merujuk objek yang sama atau bukan. Wicaksono mengajak generasi muda untuk kritis terhadap hal yang urgen.
"Kapan Surabaya menjadi kota? Perlu kajian lagi kapan dan di mananya. Terutama seperti informasi yang tertera di prasasti Canggu dan kitab Nagarakretagama. Buat generasi muda ahrus berani mengkritisi sumber, agar tidak ada salah tafsir yang menyebabkan chaos," katanya.
Wicaksono berpesan bagaimana pun terbentuknya Kota Surabaya harus diakui sebagai bagian dari sejarah. Diskusi kemudian dilanjutkan dengan pemaparan dari Yusri, wartawan senior yang pertama kali mengkritisi hari jadi Kota Surabaya.
Yusri bercerita, sebelum adanya SK penetapan hari jadi yang dikeluarkan pada tahun 1975 sempat ada gonjang-ganjing di internal Pemerintah Kota pun DPRD.
Yusri mengatakan, pemilihan hari jadi kota Surabaya saat itu berdasarkan beberapa pertimbangan. Salah satunya agar tidak sama dengan perayaan hari besar yang lain.
"Pada tahun 1973 itu sudah proses pemilihan hari jadi, baru dikeluarkan SK-nya pada 1975. Mei dipilih untuk menghindari peringatan hari besar yang sama. Agustus ada kemerdekaan, Nopember ada hari pahlawan. Akhirnya Walikota dan DPRD memilih Mei," kata Yusri.
Mendengar penjelasan dari berbagai sumber Wakil Walikota Surabaya, Armuji mengaku siap digugat. Armuji bahkan menerima dan menyambut dengan tangan terbuka. Armuji bahkan menantang agar segera ada gugatan yang masuk untuk mengubah hari jadi kota Surabaya.
"Wani nggak gugat, ayo monggo. Kabeh setuju gugat, ayo digugat. Ben onok sensasi Eri-Armuji ngunu. Ben dikenang. Ojok surat ijo tok ae sing dipermasalahno," kata Armuji dalam bahasa Jawa dengan nada guyonan khas Suroboyoan.
Bagi Armuji gugatan yang akan dilayangkan mengandung nilai positif, demi kebaikan bersama. Terlebih, gugatan tersebut didasari fakta dan bukti otentik penemuan sejarah.
"Nek nggugat yo tak terimo, tak tampani. Ngerubah tanggal kelahiran Surabaya orak ono sing nglarang. Wong yo omahe dewe. Gugat untuk kebaikan, ngelurusno dalan sing salah. Monggo dilurusno, toh gak asal ngomong. Onok datane," katanya.
Acara diskusi pun ditutup dengan pembacaan puisi serta foto bersama. Ke depan akan dilaksanakan gugatan resmi kedua belah pihak. baik Pemerintah Kota Surabaya pun DPRD.
"Habis ini akan ada rapat selanjutnya membahas draft gugatan ke Pemkot dan DPRD. Tunggu saja kelanjutannya," kata Kuncarsono Prasetyo.