Menggugat "Barista"
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyebut, barista adalah orang yang ahli membuat kopi. Seperti esspreso, dll. Di kafe atau di kedai kopi.
Faktanya, barista memang sebuah profesi. Profesi khusus yang berkait dengan segala macam sajian minuman kopi. Profesi ini pun disambut Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) Nasional dengan "perlindungan" maksimum bernama sertifikasi.
Tidak main-main bukan? Karena profesi ini memang bukan jenis pekerjaan main-main.
Adalah kopi. Sepuluh tahun terakhir kopi hits-nya bukan main. Euforianya begitu berlebih. Sebagai akibatnya adalah ledakan warung kopi. Warung kopi tumbuh dahsyat. Jumlahnya pun - bila ada lembaga resmi yang mendata - pasti mengejutkan. Betapa banyaknya.
Karena itu berbondong-bondong anak muda ingin menjadi barista. Sepertinya asyik. Kelihatannya keren. Dipandang sebuah profesi yang menjanjikan. Seperti yang pernah tampak dalam: film Filosofi Kopi. Hingga dua jilid.
Ada beberapa cara yang kemudian mereka tempuh untuk menjadi barista. Bagi yang berduit, gampang. Langsung daftar kelas. Mulai dari pelatihan hingga sekolah formal. Bisa memilih, di dalam atau di luar negeri. Selesai itu, kalau perlu, sekalian ambil sertifikasi barista. Jadilah dia barista. Barista bersertifikat.
Lalu, bagaimana yang tak berduit? Tetap bisa jadi barista! Caranya adalah nyantrik. Mirip seperti di pesantren itu. Terbang dari warung-warung, dari kedai ke kedai, hingga coffee-coffee shop. Model begini si cantrik tidak berharap bayaran. Hanya berharap dapat ilmu. Tetapi kalau ada fee-nya tentu lebih menyenangkan dong.
Di tempat nyantrik itu dia bisa menggunakan alat apa saja untuk praktik menyeduh kopi. Tahu pula bagaimana mengelola sebuah tempat usaha kopi. Tapi tidak bersertifikat. Jangan salah, boleh jadi dia tidak bersertifikat, namun mendapat pengakuan full secara bottom up. Menjadi barista keren, karena jam terbang. Karena kopi bikinannya selalu enak.
Satu lagi cara, yaitu belajar otodidak. Membeli alat-alat kopi. Membeli juga biji-biji kopi. Kemudian bereksperimen sendiri di rumah. Atau di suatu tempat.
Gurunya? Bisa bacaan digital yang begitu banyak bertebaran di berbagai laman. Bisa juga dari youtube.
Belajar dari youtube malah lebih sugestif. Atau tinggal meniru. Lalu mencoba dan mencoba. Sak kuat udelnya. Sampai dia bisa. Sampai (mungkin) dia bisa menciptakan gaya sendiri. Melebihi guru digitalnya: youtube. Jebolan otodidak begini jelas tidak bersertifikat.
Barista otodidak tak jarang haus pengakuan. Caranya? Dia melanglang buana dari kompetisi ke kompetisi. Kompetisi kopi tentunya. Level lokal, nasional, bahkan internasional. Dilakoni dengan biaya sendiri. Dengan semangat membahana ala barista. Perlunya adalah menjajal kemampuan. Kemampuan setelah sekian lama belajar sendiri dengan guru digital.
Apakah berhasil? Sejumlah informasi menyebut: mereka bahkan jarang gagal. Artinya, dia sukses dengan jalan keotodidakannya . Maka jadilah dia terkenal sebagai barista. Ada yang kemudian menyebutnya barista champion. Barista yang lulus dari kompetisi ke kompetisi.
Jadi, intinya, tak gampang menjadi barista. Tak juga mudah menyandang "gelar" tinggi di dunia perkopian itu. Banyak variabel yang melekat pada diri barista. Tidak sekadar berhadapan dengan kopi lalu dengan mudahnya dilabeli barista.
Karena rumitnya menjadi barista, tak selayaknya barista jadi kata plesetan. Contoh nyatanya adalah akronim Barista pada tayangan infoteinment sebuah stasiun televisi. Barista disebutnya adalah Berita Artis Ternama.
Jam tayangnya setiap hari Minggu. Siang hari. Isi tayangannya adalah gosip artis. Penuh drama dan framing berita. Isi tayangannya sama sekali tak ada terkait dengan aktivitas barista. Tayangan Minggu lalu adalah gosip artis Vanessa. Angel yang sangat top itu.
Merugikan barista? Mestinya iya! Mengapa para barista tak ada yang angkat suara? Boleh jadi, karena barista lebih konsentrasi mengasah skill ketimbang terlibat pada "perang" opini yang tak perlu. Tapi barista tetaplah barista, tidak bisa begitu saja menjadi Berita Artis Ternama. Gosip, ngegosip, dan seterusnya.
Membuat akronim mestinya tidak sembarangan. Perlu pertimbangan. Ada etika yang harus dilalui. Sebab akronim bisa membuat konflik pengertian. Dapat menimbulkan komplikasi yang tidak perlu.
Ada rambu-rambu yang sudah dinyatakan. Pembentukan akronim dalam perspektif etika bahasa dapat mengacu pada pendapat Wittgenstein (1889-1951). Wittgenstein adalah filsuf bahasa, matematika, dan logika.
Dia, Wittgenstein, menyatakan, perkataan adalah sebuah tindakan moral, sehingga perkataan yang benar adalah yang didasari dengan etika, moralitas, dan logika yang baik.
Lalu, berita gosip, ngegosip, sebandingkah dengan barista yang berjuangnya begitu rupa untuk profesinya? Ini bisa menjadi konflik pengertian! (widikamidi)
Advertisement