Mengendalikan Hawa Nafsu, Meraih Berkah Puasa
Dalam Islam hawa nafsu bukan untuk dipandang musuh, apalagi dihancurkan. Hawa nafsu itu esensial (mendasar) dalam menjaga kesinambungan hidup dunia. Karena dunia memang identik dengan hawa nafsu. Dan tanpa hawa nafsu dunia ini tidak ada (non exist).
Demikian pesan Ramadhan Ustadz Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation Amerika Serikat. Berikut tausiyah lengkapnya:
Majunya ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya di bidang transportasi dan telekomunikasi saat ini juga merupakan konsekwensi langsung dari eksistensi nafsu. Bahkan kemajuan peradaban materi itu semuanya bagian dari eksistensi nafsu manusia.
Pembangunan dan kemajuan dalam kehidupan dunia itu dalam pandangan Islam justeru menjadi bagian dari kebaikan (hasanah) kehidupan itu sendiri.
Celakanya memang ketika dorongan (hawa) nafsu (ego) manusia itu kemudian lepas kendali. Nafsu menjadi penentu hidup bahkan menjadi tujuan tertinggi (ultimate goal) kehidupan. Manusia hidup seolah tidak ada lagi yang penting dalam hidupnya selain memenuhi hawa nafsu dunianya.
Jika ini terjadi maka dunia tidak lagi sebagai sumber hasanah (kebaikan) bagi manusia. Sebaliknya menjadi sumber kesengsaraan dan kehancurannya.
Dunia tidak lagi menjadi objek hidup tapi berubah menjadi tuan atau master. Di sinilah kerap dunia atau nafsu berubah menjadi “tuhan kecil” dalam hidup.
Seperti yang diingatkan oleh Al-Quran: “Tidakkah anda melihat siapa yang menjadikan hawa (nafsunya) sebagai tuhan?”.
Dalam dunia modern saat ini, kecenderungan hawa nafsu menjadi tuan (master) merupakaan penyakit kronis dunia yang sangat berbahaya. Penyembahan materi atau yang lebih dikenal dengan “materialisme” telah membawa berbagai malapetaka kehidupan. Ketamakan manusia menjadikannya buta nurani untuk melihat nilai-nilai kebajikan dan kasih sayang.
Ambillah contoh kekerasan dan peperangan-peperangan yang terjadi sepanjang masa. Ribuan bahkan jutaan manusia telah menjadi korban karena kecenderungan nafsu manusia yang diperbudak oleh dunia.
Dari sekian banyak marabahaya materialisme, mungkin penyakit “al-khauf wal-hazn” (ketakutan dan kesedihan) adalah bahaya yang paling mengancam kehidupan manusia.
Saat ini manusia bukan lebih miskin dari masa-masa lalu. Bukan pula karena uang itu lebih sedikit dari masa lalu. Atau karena fasilitas dunia lebih sedikit dari masa lalu.
Yang ada adalah di tengah kemajuan dan kekayaan itu manusia justeru tidak pernah merasa cukup. Inilah yang menumbuhkan rasa takut dan sedih yang menjadikannya akan menghalalkan segala cara untuk memenuhi hawa nafsunya yang tidak pernah bisa terpuaskan.
Ketidakmampuan untuk merasakan kepuasan atau “al-ghina” (perasaan cukup) ini boleh jadi telah menjadi bagian dari “thoommah shugra” (kehancuran kecil) dalam hidup manusia. Hilangnya kepuasan manusia telah menjadi jahannam kehidupan yang nyata.
Semakin kaya semakin merasa miskin. Semakin kuat semakin ketakutan. Semakin maju alat kecantikan, perceraian semakin menjadi-jadi. Semakin popular semakin kesepian. Dan semakin terdidik semakin bodoh.
Itulah antara lain paradoks kehidupan yang diakibatkan oleh hilangnya kendali hawa nafsu.
Maka puasa adalah karunia dan berkah besar dari Allah untuk hamba-hamba-Nya. Dengannya manusia mampu membangun kendali hawa nafsu, melatih hati hati nurani untuk mengambil alih kendali kehidupan.
Dengan puasa kita belajar menjadi “tuan” bagi hawa nafsu kita. Bukan menjadi “hamba sahaya” bagi hawa nafsu. Semoga!
Demikian tausiyah Ustadz Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation Amerika Serikat.
Advertisement