Mengenang Margiono dari Sisi Pers dan Kebudayaan
Oleh Yusuf Susilo Hartono
Gajah mati meninggalkan gading, mantan Ketua Umum PWI Pusat (2008-2018) H.Margiono wafat, meninggalkan banyak kenangan, gagasan, pemikira sekitar dunia jurnalistik hingga seni budaya, yang perlu ditindaklanjuti.
Sebelum jauh, ijinkan saya terlebih dahulu mendoakan Mas MG , begitu saya biasa memanggil, semoga jembar kuburnya, terang jalannya, menuju pangkuan Illahi Robbi. Bagi keluarga yang ditinggalkan, semoga diberikan ketabahan, kesabaran, dan keihlasan. Amiin.
Direktur Utama Rakyat Merdeka /CEO Rakyat Merdeka Group dan Ketua Dewan Penasihat PWI Pusat, kelahiran Tulungagung, Jawa Timur, 1960, berpulang pada Selasa, 1 Februari 2022, sekitar pukul 09.00 WIB, di RSPP Modular, Jakarta. Bertepatan dengan tanggal merah, hari libur/perayaan Imlek (tahun baru China) . Jenazah almarhum dimakamkan di TPU Jelupang, Serpong, Tangerang Selatan, Banten, menjelang Ashar. Almarhum wafat setelah beberapa hari di rawat di RS karena Covid.
Wartawan, Organisator, dan Seniman
Selama Mas MG menjalankan roda organisasi PWI dua periode, saya kebagian membantu menangani Departemen Wartawan Film, Kebudayaan dan Pariwisata. Oleh karena itu, setiap kali bertemu obrolannya lebih banyak ke arah hal itu.
Obrolan kami tidak hanya nyambung, tapi gayeng, karena kami sama-sama selain wartawan berlatar belakang seni. Mas MG, seorang dalang, yang cinta sastra Jawa, lisan maupun tulis. Saya juga menyukai wayang, dan menggeluti sastra (Jawa/Indonesia). Mas MG mengaku juga menulis puisi tapi tidak pede untuk membuat antologi. Saat saya memberikan buku kumpulan puisi (Indonesia dan Jawa) karangan sendiri, dibaca dengan senang, tapi sebaliknya saya tidak bisa mendapatkan puisi-puisinya. Dengan saya menonton Mas MG mendalang di Monumen Pers Solo, dalam rangkaian Kongres PWI, saya bisa mendengar secara otentik bagaimana ia membaca puisi, nembang, dan melihat langsung ia bermain teater tunggal diiringi gamelan dan para pesinden cantik-cantik.
Saya tidak bisa mendalang, tapi saya bisa melukis. Mas MG tidak bisa melukis, tapi menyukai lukisan. Karena itu, ketika saya pameran lukisan tunggal di Galeri Nasional Indonesia, "Pe(s)ta Demokrasi", 2014, Mas MG mengoleksi sebuah lukisan saya, berjudul "Petruk (Mau) Jadi Ratu". Saya gambarkan di sana Petruknya sedang tertawa, berhadapan dengan raksasa. Di koran Rakyat Merdeka, yang ia pimpin, ia mengulas lukisan itu di halaman pertama, bersambung di halaman 12. Tulisannya mengalir, seperti kalau ia bicara tanpa teks.
Saat bertemu di kantor PWI beberapa hari setelah tulisan itu terbit, ia tertawa kecil, "Bar nulis kuwi aku diseneni (habis menulis itu saya dimarahi)". Semula saya ikut tertawa kecil juga, tapi setelah tahu siapa yang memarahi itu saya keder sebentar. "Gak popo. Nggambar saja terus (Tidak apa-apa. Melukis saja terus}", lalu kami tertawa bareng. Kali ini lebih berderai. Kemudian ia minum es teh di gelas besar. Bagi dia, kalau minum air biasa itu baru sampai tenggorokan, tapi kalau sudah minum es teh baru bisa sampai dalam perut.
Antara serius dan guyonannya itu lho yang saya kangeni dari Mas MG. Guyonan model "goro-goro" itu (istilah saya) ternyata juga dikangeni oleh banyak orang, khususnya "umat" Hari Pers Nasional. Setiap kali HPN datang, selama 10 tahun berturut-turut, 2008-2018, orang-orang pasti menunggu "goro-goro" Mas MG, terutama saat sambutan di depan Presiden : Susilo Bambang Yudhoyono, kemudian Joko Widodo. Sesama orang Jawa Timurm Pak SBY tidak terlalu kaget. Namun ketika pertama kali Pesiden Joko Widodo terserempet guyonan Mas MG pada HPN 2016 di Lombok, telinga priyantun Solo ini sempat merah. Tapi pada tahun berikutnya, biasa juga.
Suka Mendengar dan Memperkaya
Mas MG sebagai Ketua Umum PWI saat itu, bersama Sekjennya Hendry Ch Bangun/HCB (kini Wakil Ketua Dewan Pers) adalah dua serangkai, yang juga sama-sama pelaku dan pecinta seni. Mas HCB (saat itu di Kompas), menulis puisi dan cerita pendek. Sudah mempunyai beberapa buku kumpulan puisi dan cerpen bersama. Apakah ia suka blusukan nonton dangdut seperti Mas MG, saya kurang tahu.
Dengan Ketum dan Sekjen PWI adalah pelaku dan pecinta seni, alhamdulillah, telah memperlancar tugas yang saya emban, mengurus Departemen Wartawan Film, Kebudayaan dan Pariwisata. Kami bisa bebas berdiskusi. Gagasan-gagasan yang saya ajukan, tidak hanya didengar dengan baik, tapi juga seringkali diperkaya.
Maka program tahunan, seperti Temu Redaktur Kebudayaan se-Indonesia, kerja sama PWI dengan Direktorat Jendral Kebudayaan dapat berlangsung dari tahun 2012 - 2015. Bahkan dari sini melahirkan program lanjutan, berupa "Sekolah Jurnalisme Kebudayaan" (2013-2014), dan Anugerah Kebudayaan PWI Pusat untuk Bupati /Wali Kota (2016). Ketika masa bakti Mas MG dan Mas Hendry habis, digantikan oleh pasangan Bang Atal S. Depari dan Kang Mirza Zulhadi, bersyukur program Anugerah Kebudayaan PWI Pusat dapat dilanjutkan pada HPN 2020, 2021, dan 2022 sekarang.
Dalam bahasa jawa, margi artinya jalan, ono artinya ada. Margiono bisa dimaknai "ada jalan". Mungkin karena bawaan namanya itulah, setiap kali dia meniatkan sesuatu, pantang berhenti sebelum berhasil. Tapi per 1 Februari 2022, ia telah sampai finish. Tiket yang sudah kadung dipesan untuk ke HPN Kendari pun, batal demi akhir perjalanan. Akan tetapi plakat Lifetime Achievement Award yang akan diterimakan kepada keluarganya, di puncak HPN 2022 nanti, adalah ungkapan simbolis bahwa Mas MG tetap ada di tengah-tengah masyarakat pers Indonesia. Khususnya di hati saya.***
*Yusuf Susilo Hartono, pengurus PWI Pusat