Mengenang Kejayaan Tinju Surabaya yang Mati Suri
Sasana Pirih
Agar lebih lengkap menggambarkan kondisi pertinjuan Surabaya yang mati suri, rasanya tak lengkap jika Ngopibareng.id tak mengunjungi Sasana Pirih atau Pirih BC.
Kondisi Sasaba Pirih berbeda 180 derajat dengan apa yang terlihat di Sawunggaling. Kondisi sasana ini relatif lebih terawat meski tak lagi digunakan secara rutin. Kondisi tersebut disebabkan sasana ini masih sering digunakan untuk latihan tinju atlet muda di Surabaya yang mempersiapkan diri turun di berbagai kejuaraan tingkat lokal maupun regional.
Di gelanggang yang berada di sekitar perkampungan Barata Jaya tersebut memajang beberapa foto mendiang Eddy Pirih saat masih hidup, serta beberapa petinju yang dulu berlatih di bawah naungan Pirih BC. Background foto di sebelah tulisan Sasana Pirih tersebut seperti menjadi penanda bahwa tempat ini memiliki sejarah panjang di dunia tinju Surabaya, nasional maupun internasional.
Kondisi ring di sasana ini relatif masih terawat kendati ada beberapa bagian yang sudah berkarat, serta terdapat sobekan di sudut ring yang terbuat dari kulit tersebut. Selain itu, juga ada dua buah sansak yang tergantung di beberapa sudut tempat latihan ini. Kondisi sansak tak berbeda jauh dengan ring yang digunakan para petinju untuk berlatih.
Sasana yang berada tepat di sebelah rumah mendiang Eddy Pirih ini konon menjadi saksi bisu kejayaan Pirih Boxing Camp. Setidaknya, banyak petinju hebat yang lahir dari sasana tersebut.
Menurut Yani Malhendo, mantan petinju peringkat pertama kelas bantam Junior WBO binaan Pirih BC, kesuksesan Pirih mencetak petinju-petinju andal tak lepas dari tingginya kepedulian almarhum Eddy Pirih.
Ia mencontohkan bagaimana Eddy Pirih menyiapkan kebutuhan para atletnya dengan baik. Dia juga memberikan fasilitas yang memadai untuk semua petinjunya. “Untuk mencetak petinju andal, Pak Eddy sangat memperhatikan kedisiplinan, kualitas makanan hingga gizi para petinjunya. Selain itu juga attitude para atlet binaannya,” kata Yani.
“Mungkin kalau kita samakan dengan pelatih sepak bola, almarhum Eddy adalah Sir Alex Fergusonnya tinju Indonesia,” kata Yani.
Tak heran sasana ini melahirkan petinju hebat seperti Yani Malhendo sendiri, Yohannes M. Siren, hingga si raja KO Andrian Kaspari. Selain mereka, Si Bengal Anis Roga (dari Akas BC Probolinggo) juga pernah mencicipi latihan di Pirih BC, namun bukan sebagai anak asuh Pirih, melainkan hanya numpang berlatih.
Tak seperti Setijadi Laksono yang memang terlahir sebagai petinju. Kecintaan Eddy pada tinju tumbuh ketika ia didapuk sebagai pengurus salah satu organisasi tinju nasional. Bahkan saking besarnya kecintaan Eddy pada olahraga yang satu ini, pengusaha perkapalan dan pelayaran ini membangun Sasana yang kemudian ia beri nama Pirih BC.
Dari situlah Eddy mendedikasikan hidupnya pada dunia tinju. Mulai setumpuk uang, tenaga dan pikiran ia curahkan untuk kemajuan tinju di Surabaya dan Indonesia. Eddy pun tak segan-segan mengeluarkan banyak biaya untuk mementaskan para petinjunya di dunia internasional.
Salah satu momen yang selalu diingat Yani adalah saat dia akan menghadapi Manny "Pacman" Pacquiao mantan juara dunia di delapan kelas berbeda, mulai kelas terbang (51 kg) hingga welter super (69 kg). Namun sayangnya pertandingan tersebut urung di gelar karena Pacman mengalami gangguan perut atau diare.
“Saya tahu dia takut dengan saya,” koar Yani. Wajar saja bila kubu Pacman menghindar. Sebab saat itu usia Yani dengan Pacman terpaut 10 tahun, Yani juga berperingkat 5 dunia versi WBO, sedangkan Pacman masih baru merintis karir di dunia tinju.
Mendiang Eddy Pirih yang saat itu menjadi manajer yang pendamping Yani pun merasa kesal karena sudah keluar banyak uang untuk mengadakan pertandingan di Filipina tersebut.
Akhirnya saat itu almarhum Eddy Pirih berdiskusi dengan promoter, dan akhirnya pertandingan digelar namun bukan Pacman sebagai lawannya, melainkan Jats Maecad petinju di kelas yang sama dengan Yani Malhendo. Dengan amarahnya dan ingin membahagiakan Eddy Pirih, Yani memukul habis sang lawan hingga KO di ronde kedua.
Mahalnya ongkos yang dikeluarkan Eddy pun terbayar. Senyum pun mengembang di wajah Eddy selama perjalanan pulang ke Indonesia.
Terlepas dari itu, menurut Yani maupun Hengky, Eddy Pirih maupun Setijadi Laksono diperkirakan harus merogoh kocek sekitar 20 juta per bulan hanya untuk operasional latihan. Belum lagi jika mengadakan tanding atau sparing ke luar kota hingga luar pulau. Di era itu, uang 20 juta mungkin bisa ditaksirkan saat ini sekitar 150 juta! Wow angka yang sangat tinggi untuk saat itu.
Pada tahun 2004 menjadi momen emas tinju di tingkat nasional. Banyak kita menyaksikan pertandingan tinju di gelar setiap pekannya. Para promotor pun menjamur. Di Surabaya sendiri ada Setiadi Laksono dan Aseng yang rela merogoh kocek dalam-dalam untuk menggelar kejuaraan. Sayangnya berganti tahun ke 2005 olahraga tinju mulai meredup dan puncaknya di tahun 2006 olahraga ini seperti menghilang di Surabaya.
Meski sempat muncul beberapa gelaran tinju berskala regional maupun nasional, gaungnya tak menggema. Bahkan sepi penonton karena kurangnya publikasi.
“Awal mula tinju di Surabaya meredup ini karena setelah tiga promotor di Surabaya, Eddy Pirih, Aseng dan Setijadi Laksono meninggal, dan penerusnya hanya setengah-setengah. Tidak ada yang benar-benar serius dan gila seperti mereka,” kenang Yani.
Walau sempat dilanjutkan oleh anak-anak Pirih yakni Mona dan Eric Pirih di tahun 2011 namun karena tidak konsisten dan terjadwal rutin, akhirnya tinju di Surabaya kembali menghilang. Begitu pula Vivi Laksono (anak Setijadi Laksono), maupun Ndondo Sugiarto (putra mahkota Aseng).
Meski tak ada lagi aktivitas tinju pro di Sasana Pirih, aktivitas tinju masih ada di sana. Karena sasana Pirih dipilih sebagai pusat latihan bagi para remaja dari berbagai sasana di Surabaya untuk mengikuti seleksi mewakili Surabaya di ajang Pekan Olahraga Provinsi (Poprov).
“Ya hanya ini aktivitasnya sekarang. Meski tidak ada lagi petinju pro di sini, pemilik tempat ini mengizinkan sasanananya dipakai untuk kepentingan tinju amatir,” Ungkap Yani.
Selain Sasana Sawunggaling dan Pirih tentu kala itu Surabaya juga memiliki sasana sasana lain yang tak kalah top seperti Sasana Rajawali, Sasana Duta, Sasana Pucang, Sasana Pahlawan, dan masih banyak lainnya.
Namun karena kedua sasana ini merupakan yang terbesar di era 1970-2000an, wajar jika kedua sasana ini yang menjadi kiblat bagi sasana-sasana kecil yang ada di kampung untuk mengirimkan bakat mudanya di zaman itu.
Kini, ketika Sawunggaling BC sudah benar-benar mati, dan Pirih BC sekarat, akankah tinju Surabaya bakal perlahan-lahan akan mati. Tak sedikit yang masih optimistis tinju Surabaya akan tetap hidup, meski “denyut nadinya” lemah.
Namun sampai kapan tinju Surabaya bertahan di tengah gerusan cabor mix martial art yang kini lebih digandrungi khalayak? Coba tanyakan rumput yang bergoyang.