Mengenang Gus Dur, Menerawang Amien Rais
Banyak orang bermimpi menyatukan NU dan Muhammadiyah. Dua organisasi keagamaan terbesar di Indonesia. Satu berbasis di pedesaan, satu di perkotaan.
Bayangkan. Kalau dua organisasi besar yang telah mengakar itu bersatu, pasti gampang sekali memajukan dan mensejahterakan umat. Apalagi keduanya juga bergerak di bidang pendidikan.
Mimpi yang naif memang. Tapi itulah yang banyak muncul menjadi harapan sebagian ummat di tahun 1980-an. Ketika politik Indonesia dikontrol satu orang: Presiden Soeharto.
Saya pun ketika itu punya mimpi yang sama. Apalagi saya tinggal di Yogyakarta. Tempat lahirnya Muhammadiyah. Setelah lahir dan besar di lingkungan keluarga NU di Blitar.
Bahkan, keluarga saya banyak yang menjadi pimpinan NU di Yogyakarta juga. Untuk periode yang sangat lama. Mereka adalah saudara ibu saya yang memang masih punya trah dari kota itu. Saya pun tetap NU sampai sekarang.
Tak sekadar mimpi. Bersama beberapa kawan aktifis sempat menggelar Seminar NU-Muhammadiyah. Menghadirkan para tokoh puncak dari kedua organisasi. Penggagasnya ada KH Yahya Cholil Staquf yang kini jadi Katib Aam PBNU.
Tapi yang paling sering mempertemukan KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dengan Amien Rais. Satu Ketua Umum PBNU yang juga tokoh pro demokrasi. Satunya Ketua PP Muhammadiyah dan tokoh ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia).
Meski sama-sama tokoh puncak Ormas Islam terbesar, namun posisi politik antara keduanya berbeda. Gus Dur dengan NU dan aktifitas di luarnya dianggap ancaman bagi Presiden Soeharto. Sedangkan Amien menjadi sahabat dalam rangka politik akomodasi lewat ICMI.
Hampir setiap tiga bulan sekali, kami menggelar diskusi terbatas yang melibatkan keduanya. Hanya Gus Dur selalu hadir jika diundang. Sedangkan Amien Rais sering mangkir. Yang rajin A Syafi'i Ma'arif yang juga pernah menjadi Ketua PP Muhammadiyah setelahnya.
Untuk beberapa waktu yang lama, Gus Dur dan Amien Rais menjadi simbol dari kekuatan umat berbasis NU dan Muhammamdiyah. Pikiran sederhananya, jika keduanya punya platform yang sama tentang keumatan, maka beruntunglah Indonesia.
Bersatunya dua tokoh NU-Muhammadiyah ini sempat menghasilkan kepimimpinan nasional dari kalangan mereka. Pada tahun 1999, Gus Dur menjadi Presiden RI sedangkan Amien Rais menjadi Ketua MPR RI. Dua tokoh Ormas Islam mengendalikan Indonesia.
Sayang, kebersamaan keduanya tak berlangsung lama. Gus Dur menjadi presiden saat Amien Rais menjadi Ketua MPR RI. Gus Dur dilengserkan dari kepresidenan juga saat Amien masih menjadi pimpinan MPR RI.
Sekadar mengingatkan bahwa saat itu, Presiden RI masih dipilih dan diberhentikan oleh MPR. Belum ada pemilihan presiden secara langsung seperti sekarang. Pilpres langsung yang memungkinkan munculnya tokoh baru seperti Presiden Jokowi.
Bisa jadi, kalau bersatunya tokoh NU dan Muhammadiyah itu berlangsung lebih lama, akan mengubah peta politik Indonesia. Bisa jadi potret politik Islam lebih tampak termoderasi. Bisa jadi tidak akan muncul kelompok politik Islam yang menggunakan cara-cara keras.
Tapi sekali lagi politik selalu bergerak tidak dengan cara linier. Ia selalu berjalan zigzag, bersengkarut dengan berbagai kepentingan yang saling menyandera. Tak ada perkawanan yang ajek dalam politik. Yang ajek hanya kepentingan itu sendiri.
Meski hanya menjadi presiden dalam waktu singkat, Gus Dur telah membuka ruang lebih besar untuk NU. Setelah 32 tahun termarginalkan oleh rezim Presiden Soeharto, NU kambali menemukan ruang berperan lebih besar.
Trend populisme dengan mengatasnamakan agama membuat sikap politik NU mendapatkan momentumnya. Ia menjadi mitra penting siapa pun presiden Indonesia yang ingin mempertahankan wajah kebhinekaan negeri ini.
Jika NU paska Gus Dur mendapatkan ruang berkiprah lebih besar dalam pemerintahan, ini adalah hasil dari visi keumatan yang dikembangkan selama ini. Bukan sekadar hadiah untuk ormas Islam yang memang ikut memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini.
Gus Dur telah mewariskan kepercayaan diri baru di kalangan Nahdliyin. Kepercayaan untuk tampil dalam kepemimpinan, mulai dari politik, sosial, kebudayaan dan keilmuan. Santri NU tak lagi berwajah ndeso seperti ketika awal Gus Dur memimpinnya. Tapi sudah menampakkan kosmopolitannya.
Sementara Amien Rais kini masih kesulitan menapakkkan kembali basis politiknya. Ia seakan menjadi pelari yang belum tahu garis finisnya. Sementara basis politik yang mengantarkan pada posisi kepemimpinan nasionalnya tak lagi dalam kendalinya.
Gus Dur telah menjadikan dirinya sebagai simbol kepemimpinan NU sampai meninggalnya. Sementara Amien Rais makin kehilangan jejak dalam sejarah kebesaran Muhammadiyah. Ia tetap dihormati di Persyarikatan, tapi tak bisa ikut menentukan arahnya.
Toh rasanya, umat patut mencatat sejarah kebersamaan Gus Dur dan Amien Rais dalam perjalanan politik Islam di Indonesia sebagai sesuatu yang istimewa. Yang menunjukkan bahwa kalau NU-Muhammadiyah bersatu akan bisa menentukan arah masa depan Indonesia.
Kita tidak pernah tahu apakah momentum seperti kebersamaan mereka berdua itu bisa terulang kembali? Ataukah momentum kebersamaan itu masih dibutuhkan lagi bagi masa depan bangsa kita? Pertanyaan yang hanya bisa dijawab para tokoh kedua ormas ini.
Yang sudah pasti, Gus Dur kini tak lagi menjadi sosok fisik setelah wafat 31 Desember 2009. Tinggal spiritnya yang masih bergaung ke sana ke mari. Juga makamnya yang selalu dikunjungi ribuan orang setiap hari.
Kita belum tahu ke mana arah nasib politik Amien Rais ke depan. Akankah ia mampu kembali menapakkan ketokohannya kembali? Atau justru terkubur oleh sejarah perubahan yang terus bergerak dengan tokoh-tokoh barunya.
Wallahu a'lam bissawab. (Arif Afandi)
Advertisement