Mengenang Gagasan Trem Surabaya
Tiba-tiba teringat keinginan Walikota Surabaya Tri Risma Harini. Yang pernah ngotot membangun kembali moda transportasi trem. Angkutan publik berbasis rel yang menghiasi kota ini di zaman dulu. Sejak zaman pemerintahan Hindia Belanda.
Sampai di mana gagasan itu? Jadi atau tidak dibangun di Surabaya? Masih mungkinkah sisa jabatan walikota perempuan pertama itu mewujudkannya? Atau keinginan itu ikut terpendam sampai siapa pun yang jadi walikota nanti.
Bagi saya, ide menghidupkan kembali trem kota itu sangat bagus. Sebab, dengan trem, dua tujuan sekaligus tergapai. Menyediakan sarana angkutan publik. Sekaligus mengembalikan suasana masa lalu kota tua Surabaya. Jadi, semacam romantisme fungsional.
Namun, untuk merealisasikannya bukan tanpa tantangan. Jalur trem yang pernah ada sudah menjadi jalan-jalan padat lalu lintas. Baik roda empat maupun roda dua. Makin banyak spot kemacetan di jalur yang pernah dilalui trem di masa lalu. Malah banyak jalur yang sudah tertutup jalan layang.
Yang menarik, gagasan menghidupkan kembali trem muncul sebelum masalah kemacetan kota separah Jakarta. Sebelum membuat warga judeg di jalanan sehari-hari. Jika di Jakarta hanya bisa janjian dua pertemuan di tempat berbeda dan sehari, di Surabaya masih empat kali.
Nah, moda transportasi trem secara teori bisa mengurangi volume kendaraan di jalan sebelum berlebihan. Jika ada trem yang nyaman dan terjangkau, pengendara motor dan mobil bisa beralih ke angkutan itu. Tapi masih perlu banyak moda pilihan.
Betul bahwa setiap kota besar perlu transportasi publik untuk mengurangi kemacetan. Namun, bukan berarti begitu transportasi publik tersedia, kemacetan lantas terurai. Ini yang terjadi di berbagai kota besar di sejumlah negara. Kemacetan tak mungkin hanya dengan memberi alternatif satu moda.
Saya pernah mengamati cara kota London mengatasi kepadatan lalu lintasnya. Itu terjadi saat saya ke kota itu awal tahun 2000-an. Sekadar diketahui, penduduk London hampir sama dengan Jakarta. Sebelum terurai, konon macetnya juga hampir sama dengan ibukota kita.
Apa yang dilakukan mereka dalam mengurai kemacetan kota? Mereka memperbaiki sistem transportasi bawah tanah yang sudah ada sejak lama. Menambah kereta, menambah jalur, dan membuatnya makin nyaman dan terjangkau. Kereta bawah tanah dan LRT menjadi pilihan paling murah dibanding moda transportasi lainnya.
Setelah layanan transportasi publik berbasis rel bawah tanah ini bagus, di darat diterapkan pajak mobil yang mahal untuk sejumlah ruas jalan kota London. Banyak diterapkan Electronic Road Pricing (ERP). Di beberapa zona dan koridor, mobil dikenakan biaya kemacetan.
Mahalnya biaya menggunakan mobil pribadi dan didukung sistem transportasi publik yang nyaman membuat lalu lintas kendaraan bermotor di jalan berkurang. Apalagi pajak mobil pribadi juga makin mahal. Orang seakan dipaksa menggunakan trasportasi publik.
Saya sempat merasakan semua jenis moda transportasi publik kota London. Mulai dari subway, LRT, bus kota dan taksi. Inilah kota yang mempertahankan romantisme suasana masa lalu. Apakagi mereka mempertahankan bodi mobil kuno untuk bus dan taksi. Mesin baru dengan mobil terkesan antik.
Bisakah cara London diterapkan di Surabaya? Sangat bisa. Rumus sederhana mengatasi kemacetan lalu lintas itu hanya ada dua. Kurangi jumlah kendaraan yang berlalu lalang di jalan dan minimalkan lintasan sebidang. Hanya dua itu.
Mengurangi jumlah kendaraan bisa dilakukan dengan menyediakan transportasi publik yang nyaman. Setelah itu memaksa orang menggunakan transportasi publik dengan menaikkan pajak kendaraan bermotor. Menjadikan bermobil pribadi berbiaya tinggi.
Cara ini butuh waktu panjang. Sebelum bisa dilakukan, mengurangi lintasan sebidang solusi sementara. Caranya? Membangun under pass maupun jembatan layang (upper pass) di perlintasan sumber kemacetan.
Di Surabaya, jembatan layang baru ada dua. Jembatan layang Mayangkara dan Jembatan Layang Jalan Diponegoro-Pasar Kembang. Saat ini sedang dibangun under pass bundaran satelit yang semula diinisiasi san dimulai pembangunannya oleh para pengembang Surabaya.
Sebetulnya banyak titik yang sudah harus dibangun jembatan layang maupun terowongan bawah tanah. Terutama di titik-titik kemacetan parah. Atau bahkan jalan lintasan multi layang seperti jembatan Semanggi Jakarta. Bundaran Waru mendesak untuk dibuat demikian.
Metode mengurangi lintasan sebidang ini lebih realistik untuk dilakukan. Tentu sambil mempersiapan moda transportasi publik yang nyaman. Transportasi publik yang bisa menjadi pilihan lebih murah dibandingkan dengan menggunakan kendaraan pribadi.
Selain itu, transportasi publik bisa menjadi lebih efesien jika penataan pusat-pusat publik dan perumahan kota terpola. Ketika tata kota masih semrawut, transportasi publik tetap bukan menjadi pilihan. Apalagi motor roda dua masih menjadi alat transportasi utama warga.
Pastinya, transportasi publik menjadi kewajiban pemerintah kota untuk menyiapkannya. Bisa dalam rangka mengurangi kemacetan lalu lintas. Bisa juga menjadi bagian membangun romantisme kota tua. Semuanya sah-sah saja.
Karena itu, kalau Walikota Risma belum bisa menghidupkan kembali trem di jalanan kota Surabaya, angan-angan itu bisa diteruskan walikota selanjutnya. Siapa pun kelak penggantinya. (Arif Afandi)
Advertisement