Mengenang Djoko Suud Sukahar
Oleh: Jil Kalaran
Saya mengenal Djoko Suud Sukahar pada suatu malam di Balai Pemuda ketika DKS menyelenggarakan Lomba Deklamasi tahun 1983. Usai lomba masih banyak yang ngumpul di lokasi. Saya termasuk yang tergoda untuk tidak meninggalkan tempat itu.
Adalah Bambang Haryadji BS (kini almarhum) yang banyak ngobrol dengan saya malam itu. Di samping saya adalah Djoko Suud Sukahar. Kami tidak saling berkenalan formil sebagai lazimnya permulaan pertemanan. Bahkan kami saling tidak menanyakan nama masing-masing.
Menjelang dini hari, pembicaraan sudah mulai mengendor. Bambang Haryadji semacam menyuruh saya. "Kalau kamu mau tidur, di Loka Seni saja." Entah mengapa seperti ada magnit, saya pun manut.
Di dalam gedung Loka Seni, di atas panggung yang tidak besar, kami tidak tidur. Duduk bertiga, kami kembali ngobrol ngalor-ngidul. Bahkan kami sempat ke warung Buk Dah di bawah poster film Bioskop Mitra, ngopi dan juga makan malam.
Pada hari-hari berikutnya Bu Dah seperti ibu kami. Makan dan bayar tak saling berhubungan. Silakan makan, bayar boleh kapan saja. Menjelang subuh kami mulai kelelahan dan tidur dengan posisi masing-masing di atas panggung.
Loka Seni berada di kompleks Balai Pemuda. Didirikan oleh Pemerintah Kota Surabaya sebagai sarana untuk aktivitas seni yang dikelola oleh Dewa Kesenian Surabaya. Tempat ini tidak begitu besar dan atapnya juga rendah. Tapi punya panggung yang tingginya kira-kira 50cm.
Bagian belakang panggung ada ruangan lagi yang ditutup layar hitam. Sayap kanan dan kiri terdapat ruang untuk rias dan kamar kecil. Keluarga Hartoyo, staf DKS, dan adiknya yang juga staf DKS yaitu Suyitno, tinggal di ruang belakang yang terpisah dari panggung. Keluarga inilah yang lebih dahulu tinggal di Loka Seni.
Setengah lingkaran dindingnya berkaca dan dipasang besi-besi untuk latihan tari balet. Tokoh tari Surabaya, Marlupi yang paling sering menggunakan Loka Seni untuk tempat latihan sanggarnya. Selain Marlupi banyak juga yang menggunakan tempat itu.
Perkoncoan saya dengan Bambang dan Djoko Suud makin jauh. Kami jadi seperti keluarga di Loka Seni. Bambang terus bergulat dengan ide-idenya di kanvas, Djoko Suud Sukahar adalah teman yang paling rajin baca buku. Saya ini penggemar Majalah Prisma.
Tetapi Djoko Suud lebih gila lagi kegemarannya dengan majalah terbitan LP3ES itu. Saya sudah lama berhenti beli, dia jalan terus. Dan beruntunglah saya bisa nebeng melanjutkan baca isu-isu penting di majalah tersebut.
Waktu terus berjalan. Latihan tulis menulis makin intensif. Karena kami sering mengirim tulisan ke Jawa Pos (cerpen saya pertama kali dimuat di Memorandum - tahun kira-kira setahun sebelum kami berjumpa), dan mulai dekat dengan Redaktur Budaya yang bernama D. Subali. Maka suatu saat Subali mengajak pertemuan dengan Pimrednya, Basuki Sudjatmiko. Dalam pertemuan itu beliau menawarkan satu ruangan di Kembang Jepun untuk jadi tempat kongkow-kongkow kami. Semua penulis Surabaya boleh menempati sebuah ruang yang berhadap-hadapan dengan ruang Dahlan Iskan, kepala Biro Tempo waktu itu.
Djoko Suud Sukahar juga saya kenal sebagai orang yang punya ingatan kuat. Buku apa saja yang dia baca, dia mampu menceritakannya kembali. Kalau saya malas baca buku, saya tinggal pancing saja dia, maka dia nyerocos menuangkannya sambil jemarinya menggosok-gosokan daki di badannya.
Soal yang satu ini kayaknya sudah menjadi hobinya yang lain, he he he. Kesukaan saya yang lain adalah gaya tulisannya. Dia penggemar esai-esai Gunawan Mohammad. Itulah sebabnya ada jejak GM dalam diksi tulisan-tulisannya itu.
Ketika kami gelisah terhadap kondisi Surabaya yang tidak punya majalah sastra seperti Horison, Djoko Suud Sukahar yang pertama kali mencetuskan ide bikin majalah sastra. Uang pertama yang kami kumpulkan adalah dari honor tulisan yang dimuat di media. Ditambah uluran beberapa teman, termasuk sumbangan uang dari D. Subali dan Basuki Sudjatmiko. Keduanya sudah almarhum.
Kami mulai merencanakan. Djoko Suud Sukahar memilih tema sekaligus mengkurasi tulisan-tulisan yang akan dimuat, saya merencanakan layout sekaligus mengetik di atas kertas stensilan. Sedangkan Bambang Haryadji merencanakan sketsa-sketsa. Dan Amir Kiah, aktivis Bengkel Muda Surabaya yang juga bermarkas di komplek Balai Pemuda, kita minta bikin covernya.
Siang malam kami bekerja dan akhirnya terbit juga itu majalah. Namanya Loka Sastra. Djoko Suud yang manamakannya, karena kami tinggal di Loka Seni. Lega.
Bulan berikutnya puyeng lagi karena gak punya uang untuk menerbitkan. Tiba-tiba Djoko Suud datang dan berkata, bulan ini kita terbit lagi. Dapat bantuan dari Dewan Kesenian Surabaya. Syukurlah. Dan kita terbit lagi. Dan karena menerbitkan majalah sastra dengan cara bonek, dan kebetulan DKS pun gak mungkin menyokong dana terus-menerus, akhirnya kami menyerah di penerbitan keempat. Cita-cita ingin seperti Horison pun kandas.
Sebetulnya Djoko Suud Sukahar belum mau menyerah. Loka Sastra harus jalan terus. Apalagi dia bangga sekali mendengar majalah itu sudah sampai di Universitas Leiden. Saya tidak tahu dari mana dia dapat berita itu. Tapi belakangan saya baru tahu bahwa dia sendiri yang mengirim majalah itu ke sana. Edan tenan, pikir saya waktu itu.
Djok, inilah sedikit cerita yang bisa aku uangkapkan tentang bagaimana kita hidup waktu itu di gedung Loka Seni. Menjadi keluarga yang tidak pernah kita cita-citakan adalah memori yang indah. Saya dan Bambang Haryadji adalah orang yang gampang mengeluh, sementara kamu tidak pernah. Aku bangga pernah bersama kalian. Dan meskipun kita sudah saling berjauhan, aku masih setia membaca analisa-analisamu sebagai "dukun pulitik,"sama persis aku masih suka memandang lukisan Bambang pada foto-foto yang mulai kusam.
Selamat jalan Djok. Tak ada jalan yang lebih baik kecuali jalan menemui Tuhan Sang Pencipta. Tunggu saja, aku pasti datang. (Jil Kalaran, koncomu)
Advertisement