Mengenang Almarhum KH Hasyim Muzadi
Saya teringat saat dulu bersama Pak Taufiqurrahman Saleh SH sowan (berkunjung) ke Pak Hasyim Muzadi ke Al Hikam (pondok pesantren yang didirikan KH Hasyim Muzadi), beliau berkata: aku kalau dulu nggak manut (patuh) sama kakekmu ya nggak jadi seperti ini, paling pol ya jadi kayak Pak Taufik ini (anggota DPR RI). Lalu beliau bercerita keajaiban hidupnya bersama kakek saya, almarhum Mbah kiai Anwar Noer.
Dulu saat tahun 1972, kata Pak Hasyim, ia dipanggil Mbah kiai Anwar dan disuruh mencalonkan diri sebagai anggota DPRD Kabupaten Malang, ia sempat menolak karena yakin dapat jatah nomor buncit yang hampir pasti nggak akan jadi. Tapi Mbah Anwar mendesak, dan betul memang ternyata pak Hasyim nggak dapat kuota anggota DPRD yang saat itu memakai urutan. Namun saat hampir pelantikan keajaiban pun terjadi, atas takdir Allah anggota pemegang nomor jadi di atasnya meninggal dunia maka Pak Hasyim pun katut sebagai anggota DPRD secara mendadak otomatis.
Seiring perjalanan waktu, setelah beliau duduk sebagai anggota DPRD Tingkat I Jawa Timur (Jatim), tiba-tiba dipanggil Mbah kiai Anwar dan diminta mundur sebagai anggota DPRD untuk konsentrasi dakwah membina santri. Beliau sempat bimbang dan setelah berpikir keras, akhirnya ia tunduk patuh pada Mbah kiai Anwar untuk mundur dari anggota DPRD dan berkata: waduh ndadak melarat aku, Rur (mendadak miskin).
Beliau pun menjalani fase baru hanya konsen sebagai kiai dan dai, menjalani hidup tirakat sangat sederhana bahkan kata beliau sampai taraf kekurangan dan anehnya kalau dia sedang nggak punya beras Mbah kiai Anwar selalu datang membawakan beras dan lauk.
Alhamdulillah, fase tirakat itu beliau lampaui dengan baik dan Allah memberinya anugerah kemampuan luar biasa memimpin umat dan jam'iyah NU sampai menjadi Ketum PBNU, pernah saat Munas NU di Pondok Gede Jakarta, saya diajak naik mobilnya dan ditunjukkan amplop cokelat sangat tebal berisi dolar Amerika Serikat (AS) sambil berkata: Rur, ini berkah niru kakekmu Mbah kiai Anwar, yang meladeni umat tanpa pamrih sehingga kalau beliau ada perlu semua orang tanpa diminta sudah datang sendiri membantu.
Begitu dekat hubungan beliau dengan Mbah kiai Anwar, seringkali ia diceritakan di panggung saat pidato dan ketika haul Mbah kiai Anwar beliau selalu datang, hingga dua minggu sebelum meninggal dalam kondisi sakit beliau masih sempat minta diantar istrinya untuk datang ke Bululawang untuk khusus sowan pamit ke makam Mbah kiai Anwar.
Semoga beliau telah bersama Mbah Anwar di surga-Nya, amin.