Mengenang Almarhum Desmond, Dindaku!
Oleh: Erros Djarot
Suatu hari, jauh sebelum keruntuhan rezim Orde Baru Suharto, seorang pemuda asal Kalimantan, diperkenalkan kepada saya. Dua orang aktivis muda yang saya kenal dan percaya akan integritasnya, Dadang Rhs dan Bambang Ekalaya, menceritakan kepada saya bahwa seorang aktivis asal Kalimantan, Desmond Junaidi Mahesa, sangat layak bergabung dalam barisan kita. Saat itu saya dalam kedudukan sebagai pemimpin barisan perlawanan bawah tanah yang keberadaannya sebagai aktivis politik pendamping Megawati, Ketua Umum PDIP. Lebih tepatnya mendampingi Megawati sebagai tokoh pemimpin politik perlawanan terhadap rezim otoriter Suharto.
Beberapa hari kemudian, saya pun mengajak Desmond untuk turut bergabung dalam rapat tertutup bersama Megawati yang hanya diikuiti oleh kurang lebih 7 orang aktivis muda. Bertempat di sebuah vila milik perusahaan istriku, kami berdiskusi sambil memperkenalkan Desmond sebagai anggota baru. Celakanya, pertemuan tak berjalan mulus, karena Desmond dengan kekerasan sifatnya, mengomentari Megawati dengan sejumlah pernyataan yang kurang menyenangkan telinga Mega sebagai pemimpin. Desmond pun terpaksa menepi dan merasa lebih nyaman berada sementara di luar rapat tertutup.
Setelah masuk waktu jeda saya pun bersama Bob Randilawe menghampiri Desmond untuk memberi pemahaman tentang beberapa aturan dan kebiasaan ketika kita berdiskusi langsung dengan Mega. Mega yang bukan tumbuh dan dibesarkan di wilayah kehidupan para aktivis, tentunya merupakan hal yang kurang dipahami oleh Desmond secara baik. Sejak itu Desmond lebih nyaman hanya berada dalam wilayah aktivitas gerakan para aktivis senyawa yang saya langsung pimpin. Persinggungan dengan teman-teman wartawan DETIK yang rata-rata adalah para aktivis kampus dan jurnalis, cukup erat dan intens.
Sampai pada suatu hari ketika saya berencana mengadakan pertemuan khusus di rumah Jl. Deplu Raya, Bintaro, untuk merencanakan sesuatu program gerakan terbaru. Pada malam itu, Haryanto Taslam yang kami tunggu-tunggu tak kunjung muncul. Ketegangan mulai terasa ketika hingga larut malam keberadaan Haryanto Taslam tak kami ketahui rimbanya. Pihak keluarga pun resah karena tak juga menerima sedikit pun kabar keberadaan Haryanto Taslam. Kami pun bergadang, dan mendapat kepastian dari info intelijen bahwa Haryanto Taslam telah diciduk aparat.
Ketika kami tanyakan aparat mana dan dari korps mana? Jawabannya tak jelas. Para aktivis beberapa dari mereka termasuk Desmond, saya larang untuk pulang. Mereka pun bermalam di rumahku di Deplu Raya. Di hari kedua, di mana keberadaan Haryanto Taslam belum juga diketahui, terhendus berita bahwa teman aktivis lain pun terciduk, termasuk Piyus, danlain-lain. Suasana menjadi tegang, sebagai manusia biasa kegelisahan, cemas, dan rasa takut, mulai menghantui, karena teror telepon dari orang tak dikenal seliweran menggoda dalam upaya menjatuhkan mental kami.
Menginjak hari ketiga, Desmond mulai tak sabar. Di siang hari, Desmond meminta saya untuk mengizinkan pulang ke tempat indekosnya. Saya melarang, tapi Desmond memaksa, dengan embel-embal mencoba meyakinkan saya bahwa dirinya pandai bermain petak umpet. Tangannya aktif menggambarkan gerak yang berkelok dan meliuk-liuk yang mencoba meyakinkan saya bahwa dirinya pandai menghindar dari penangkapan para penculik. Saya akhirnya teryakini, dan saya hanya berpesan agar ia jangan berjalan sendiri dan menunggu ada kawan yang menemani. Karena bocoran dari intelijen pro kami, para aktivis yang saya pimpin, sementara jangan pernah jalan sendiri. Saya pun meminta Dadang atau Bambang menemani Desmond.
Tanpa sepengetahuan saya yang tengah mandi, tiba-tiba Desmond menghilang, pergi sendiri tak sabar menunggu datangnya Dadang dan Bambang. Sejak kepergiannya saat itu, hingga beberapa jam kemudian, kabar di mana keberadaan Desmond tak ada yang mengetahui. Baru tengah malam, info dari intel pro kami, memberitahu bahwa Desmond sudah jatuh ke tangan mereka, diculik.
Begitulah Desmond yang mengalami masa penculikan misterius cukup lama mendekam di kegelapan. Pada saat dilepasnya Desmond oleh pasukan Mawar (Kopassus) pimpinan Mayjen Prabowo Subianto, saya pun menjemputnya dan menaruhnya di sebuah hotel di kawasan Tarogong, Jakarta selatan. Suara dari balik telepon yang saya terima dari komandan Tim Mawar meminta agar saat Desmond dilepas, harus langsung berjalan lurus ke depan tanpa boleh menoleh ke belakang. Menoleh berarti hilang nyawanya, begitu kesepakatan kami. Sialnya, ketika saya sempat bicara dengan Desmond lewat telepon para penculik agar ia mematuhi perintah, gaya ‘selengekan’nya tetap saja muncul. Itulah Desmond yang dalam keadaan genting pun tetap memelihara humor sebagai kekhasan pribadinya.
Kenangan sangat indah ini saya tutup dengan satu peristiwa permintaan saya kepada Desmond yang saat itu memerlukan kerjaan, untuk mendampingi seorang korban yang berhadapan dengan bos Artha Graha, Tomy Winata. Tugas ia lakukan dengan baik, dan setelah kasus itu selesai dilakukan, ia pun berkawan baik dengan Tomy Winata yang memberinya peluang untuk berkiprah lebih luas sebagai pengacara dan politisi (legislator).
Yang saya kagumi Desmond tidak menaruh dendam sedikit pun dengan orang yang dulu pernah menculiknya. Ia justru bergabung dalam Partai Gerindra, pimpinan Prabowo Subianto, bosnya Tim Mawar.
Satu hal yang saya catat, selain bukan pendendam, Desmond adalah seorang kawan yang tak segan-segan membantu kawan yang sedang dalam kesulitan dan memerlukan bantuannya. Semoga ia pergi membawa kebaikan yang ditinggalkan selama hidupnya.
Selamat jalan dindaku. Walau dirimu sudah tiada, segala yang kucatat tentang dirimu, telah kusimpan dan akan tetap ada dalam kenangan. Semoga arwahmu husnul khotimah…amiiin. (Dikutip sepenuhnya dari GBN.Top)
*Erros Djarot, Budayawan, Politikus, Sahabat Desmond Junaidi Mahesa.